WELCOME to MY BLOG

Bagi akhi & ukhti yang ingin meng-copy catatan ato artikel di blog ini, mohon cantumkan sumber setiap catatan di tersenyumlah-hati.blogspot.com demi menjaga keaslian tulisan / karya ato share dilaman networking via share tool dibawah setiap catatan...

Mari berbagi...


- Tersenyumlah -

Minggu, 11 September 2011

Untuk Kekasih...♥♥♥



Bismillah…..

Assalamualaikum cinta, apa kabar?
Apa kabar dengan hati yang lama tak pernah ku jumpa?
Apa kabar dengan hati yang masih dalam perjuangannya demi menggapai ridho-Nya?
Apa kabar dengan setia dan kejujuran?

Cinta…
andai saja aku bisa mengungkap semua kata dan rasa dalam hati yang aku punya ini…
maka seribu lembar kertas pun tak akan cukup untukku menuangkannya
Banyak sekali cinta, banyak yang ingin aku ungkap secara langsung di hadapmu nanti
Andai kau tahu, aku hambar tanpa pengisi kasih dan pedulimu padaku,
andai saja kau tahu apa yang aku rasakan ini untukmu...

Cinta bukan yang bernama keegoisan rasa,
bukan yang mengucap “bagaimana?” namun “ aku mengerti…
bukan “ kamu di mana?” tapi “aku di sini...
bukan “ aku ingin kamu seperti ini...” akan tetapi “ aku mencintaimu dengan apa adanya dirimu...

Sepinya diriku tanpa kau di sini,
hampanya hatiku karena ku tahu dengan nyata kau tak berada di sampingku,
kau patahkan aku... namun aku bukan seorang yang mudah menyerah...
aku bertahan, karena ada kejujuranku... untuk mengasihimu...

Luka itu memang sakit cinta,
akan tetapi lebih sakit lagi jika aku membohongi diri ini
Mungkin aku bisa menggunakan dusta putihku,
namun selama aku masih bisa menjaga kebaikan dalam jujurku, sungguh...

demi Dia yang Maha Menghargai,
ku akan berjalan di sini tanpa ada paksa dari siapapun
dan yang utuh adalah hanya ada nurani dan hati yang suci

Ketika luka – luka telah mengering,
Selama itu pula aku haus untuk merindukanmu,
pun selama luka itu masih basah dan masih pekat terasa ngilu di ulu hatiku.

Cinta,
inginnya aku bersamamu, menjaga hati mu,
mendampingi mu ketika resah dan gundah melandamu,
ahh… cinta akankah kau tahu begitu dalamnya kasihku...

Sehingga semua luka dan kecewa itu tak akan mampu mengubahnya,
sekalipun pernah kau memintanya untuk aku melakukannya.
Maafkan cinta, maafkan aku, karena aku terlalu jujur pada perasaanku

Dan semua, semua... masih tetap utuh pada tempatnya
Rasa yang bercampur baur, ada duka, ada kecewa,
namun ada pula rasa percaya di antara sejuta ragu,
ada setitik cahaya diantara gelapnya cakrawala

Ketika semua terhempas karena sia – sia,
maka akan ku coba pelajari kesedihan ini, kesakitan ini,
dan ku anggap ini sebagai hadiah “besar”-Nya.

Derita ini adalah anugerah dan suatu kehormatan tersendiri bagiku di atasnya dan di bawah kekuasaan-Nya.
Jiwa tak akan pernah mengenal arti tegar jika ia hanya datar merasakan perjalanan hidupnya.
Hati tak akan pernah mengerti rasa sakit, jika ia selalu bahagia,
Maha Suci Tuhan Semesta Alam atas segala rangkaian hidup yang sempurna ini.

Dan cinta….
kau membuatku banyak belajar dalam sakitnya aku
ketika aku terhujam mendekam dalam tebing bebatuan yang tajam.

Kau membuatku menjadi orang “ besar” dalam rasa kesyukuranku pada-Nya. 
Terima kasih cinta, kau membuat aku menjadi jiwa yang sabar atas segala penantian dan pengertian.
Secuil apapun itu harapan adalah tetap menjadi harapan.
Dimana ia juga bisa tumbuh dari rasa kecewa, dari rasa luka.

Maka biarkanlah ia tumbuh menjadi dewasa dalam matangnya pemahaman.
Mungkin aku akan berdiri di atas rangakain jerami yang selalu ada di depanku ketika aku berjalan,
dan tiada lain adalah rasa sabar ketika aku harus membersihkannya ,
tiada lain dari rasa ikhlas ketika aku merasa lelah untuk merapikannya agar ia tak melukaiku.

Namun ketika goresan luka itu ada,
tiada lain pula rasa bertahan dan pengupayaan untukku mengobatinya
Dan tiada lain dengan rasa tulus aku melakukannya

Begitu pula denganmu cinta…
jika pun harus ada air mata, maka biarlah ia menjadi teman sedihku untuk menyayangimu...
jika ada rasa sakit mendera, maka biarkanlah ia menjadi teman setiaku
dalam bertahan atas segala kejujuranku padamu...

Sungguh aku bersyukur,
karena aku mengenalmu cinta, 
sekalipun aku tak pernah utuh memilikimu,
sekalipun utuh yang kau punya tak hanya untukku...

jangan tanyakan tentang kesedihan yang kau pun tahu cinta,
jangan bertanya tentang rasa sakitku, bila kau pun merasakannya...
aku memang manusia biasa, yang tak sempurna
namun rasa kasihku telah mengalahkan rasa sakitku,
rasa asihku mengalahkan egoku ... dan sayangku ...
telah mampu mengobati luka – luka itu

Cinta,
kapan aku bisa menyentuhmu?
Dimana aku bisa menemui hangatnya jemarimu mengusap semua peluhku?
Ataupun sebaliknya aku yang mengusap peluh di wajahmu ...
Dan aku yang akan membelai lembut bahumu ketika kau goyah di jalan perjuanganmu bersamaku,
agar kau tahu betapa pedulinya aku terhadapmu...

Cinta,
dalam sujudku pada-Nyaku titipkan doa dan pintaku...
semoga kau senantiasa dalam penjagaan-Nya ketika penjagaanku tak sampai padamu
semoga kau selalu dikasihi dan disayangi -Nya
ketika kasih dan sayangku tak mampu melampaui dimana kau berada saat ini.

Ku pinta pada-Nya agar Cinta-Nya selalu ada untukmu,
ketika aku tak sanggup lagi mencintai
Ku tegarkan, segala kerapuhan, kan ku indahkan segala kesedihan
bahagia mu adalah doa dan harapku ...
Senyumu, menjadi suatu cita – cita dimana aku bisa merasakannya
tulus hanya untuku...

Semoga kan selalu baik adanya , meskipun jalan ini tak sempurna...
ucap terakhirku, ku harap kan terbaca jelas di mata dan hatimu...
Aku mengerti... Aku di sini ...
dan aku mencintaimu apapun adanya kau dengan segala kurangmu...

dan biarlah...
biarlah tulusku... yang mencintaimu...

ƸӜƷ.¸¸¸.••..ƸӜƷ..••.¸¸¸.ƸӜƷ

READ MORE - Untuk Kekasih...♥♥♥

Rabu, 07 September 2011

Pandangan Pertama Zalaiva

Zalaiva dengan pakaian kanak-kanaknya berjinjit pelan membawa dua butir telur ayam di genggaman tangan kanannya, sementara tangan kirinya meraba-raba selusur papan kandang. Rok bersulam kupu-kupunya terkena bercak lumpur di mana-mana, sementara pipi montok menggemaskan itu sekarang seperti muka prajurit indian, tercoreng dua saput kotoran. Entah oleh apa, bisa jadi oleh tahi ayam. Tampangnya serius sekali membawa telur-telur itu, sementara kakeknya berdiri mengamati tersenyum sambil memungut telur di rak yang lebih tinggi.

Sayang sekali sebelum ia tiba di ember besar yang diletakkan di sebelah kaki kakeknya, seekor ayam jantan entah dari mana asalnya, terbang masuk kandang. Berkotek menyergap tubuh mungil Zalaiva. Gadis kecil itu berseru kaget. Telur-telur di genggaman tangannya terlepas, terlontar entah kemana. Zalaiva untuk sepersekian detik bisa mendengar telur itu satu per satu jatuh menghantam lantai semen, seperti kalian bisa melihat tetesan air jatuh dari langit secara patah-patah. Dan telur-telur ringkih itu pecah tak karuan. Sambil menahan sakit di lututnya gadis kecil itu mencoba berdiri, matanya yang tak berbintik hitam berkaca-kaca, ia merabaraba tertatih melangkah mendekati kaki kakeknya takut-takut, sebentar lagi gadis itu pasti menangis.

Tetapi kakeknya tidak marah. Justeru duduk jongkok menyambut tubuh mungil itu. Tersenyum, menghapus buliran air mata di pipi Zalaiva, menatapnya amat bijak, kemudian memegang bahunya dengan lembut.

“Jangan dipikirkan. Hanya telur, sayang!”

Tetapi Zalaiva tetap terisak. Kakeknya sambil menghela nafas dalam-dalam, pelahan duduk selonjor di lantai lorong kandang ayam. Ia menepuknepuk bulu ayam di pakaian bidadari kecilnya, lantas mendudukkan Zalaiva di pangkuannya. Topi jerami itu ia sangkutkan sembarang tempat.

Di peternakan ini, Zalaiva hanya tinggal dengan kakekknya seorang. Tidak ada siapa-siapa lagi. Dulu pernah ramai sekali, tetapi satu persatu penghuninya pergi dengan kenangan getir dan tak pantas diingat lagi, apalagi oleh Zalaiva yang sedang tumbuh dengan segala kepolosan hidup. Rumah besar itu sekarang berdiri suram seolah-olah penuh kutukan. Tetapi Zalaiva tidak tahu dan tidak peduli. Ia punya kakek yang selalu pandai bercerita.

“Tahukah, sayang. Jika kau melemparkan sebutir telur dari atas awan, saat jatuh menimpa tanah, sedikit pun telur itu takkan retak sepanjang kau punya sesuatu!” Kakeknya berbisik di telinga Zalaiva. Beginilah yang selalu ia lakukan jika Zalaiva tiba-tiba menangis sedih. Ia selalu membisikkan kisah-kisah indah, karena suatu saat ia yakin Zalaiva berhak atas manisnya kehidupan ini. Dan gadis mungil itu seperti biasa, mendongakkan kepalanya penuh rasa ingin tahu, mengerjap-ngerjapkan mata bulatnya, lantas menggeleng. Saat-saat seperti ini selalu menyenangkan baginya.

“Dan tahukah kau apakah sesuatu itu?”
Zalaiva menggeleng lagi.
“Sesuatu itu adalah cinta!”
Kakek menyebut pelahan dan penuh perasaan kata itu. Seperti menggantungnya menjadi bintang di langitlangit kandang. Zalaiva justeru berpikir tentang hal lain.

“Kalau begitu cinta itu seperti kasur, ya Kek? Yang saat Zalaiva loncat-loncat di atasnya tidak terasa sakit?”
“Bukan. Cinta itu tidak seperti kasur, sayang”
“Jadi bagaimana ia membuat telur itu tidak pecah?”
“Karena cinta itu akan memberikan sepasang sayap yang indah kepada telur itu, sayang.” Kakeknya
tersenyum sambil menciumi ubun-ubun gadis mungil itu.
“Jadi cinta itu seperti burung!”
“Ya. Seperti burung, ia akan membawamu terbang kemana saja. Membuatmu bisa memandang seluruh isi dunia dengan suka cita, bahkan terkadang kau merasa seluruh dunia ini hanya milikmu seorang.”

Gadis mungil itu ikut-ikutan mendongakkan kepala menatap kosong langit-langit kandang. Membayangkan mendengar kepak-kepak sayap burung yang sama sekali berlum pernah dilihatnya. Sepertinya itu amat menyenangkan.

“Kakek, Zalaiva ingin cinta!”

***

Kemudian, hari-hari berikutnya Zalaiva jadi sering sekali bertanya tentang cinta. Suatu pagi saat ia berlatih bernyanyi do-re-mi sambil belajar berdansa, patahpatah memegang tangan renta kakeknya, Zalaiva menyela, “Kakek, apakah cinta itu menyenangkan seperti musik?”

“Ya. Ia seperti musik, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.”

“Kalau begitu, Zalaiva ingin cinta!”

Kakeknya tersenyum meringis sambil memijatmijat pinggangnya. Gadis mungilnya tidak tahu, berputar-putar menari seperti ini membuat encoknya kumat lagi.

Ketika Zalaiva duduk menggigil malam-malam ketakutan, badai mengamuk di luar sana. Angin menderak-derakkan jendela, kilat dan guntur susul menyusul memekakkan. Zalaiva yang baru terbangun dari mimpi buruk hantu-hantu, mendongak ke arah kakek yang sedang memeluknya, “Kakek, apakah cinta itu menakutkan seperti hantu?”
“Ya, cinta sejati seperti hantu. Semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benarbenar pernah melihatnya.”

Zalaiva mengernyitkan dahinya. Mengkerut takut dalam pelukan kakeknya, “Kalau begitu, Zalaiva tidak ingin cinta lagi!”
Kakeknya tersenyum merasa bersalah. Malam ini ia terlalu lelah, dari tadi ingin rasanya segera tidur, tetapi gadis kecilnya yang sedang ketakutan sepertinya tak akan beranjak menutup matanya. Mungkin dengan begini gadis kecilnya bisa segera terlelap.

Ketika paginya mereka berdua berendam dalam sejuknya air sungai di belakang peternakan. Zalaiva yang senang sekali memukul-mukul air ke arah kakeknya, di antara percikan air yang bening, tiba-tiba menyela, “Kakek apakah cinta sesejuk air sungai ini?”

“Ya. Cinta sejati memang seperti air sungai, sejuk menyenangkan dan terus mengalir. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar, karena semakin lama semakin banyak anak sungai yang bertemu. Begitu juga cinta, semakin lama mengalir semakin besar batang perasaannya”
“Kalau begitu ujung sungai ini pasti ujung cinta itu?”
“Cinta sejati adalah perjalanan, sayang. Cinta sejati tak pernah memiliki tujuan”
“Kakek, apakah cinta itu memberi, seperti yang selalu Kakek lakukan saat memberi makan ayamayam?”
“Tidak. Karena kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun memiliki perasaan cinta, tetapi kau takkan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.”
“Kakek, dari kota manakah cinta datang?”
“Tidak ada yang tahu, sayang. Cinta sejati datang begitu saja, tanpa satu alasan pun yang jelas!”
“Kalau begitu bagaimana Zalaiva tahu itu cinta?”
“Kau akan tahu ketika ia datang. Tahu begitu saja. Dulu orang-orang menyebutnya cinta pada pandangan pertama. Cinta sejati selalu datang pada pandangan pertama. Cinta sejati selalu datang pada saat yang tepat, waktu yang tepat, dan tempat yang tepat. Ia tidak pernah tersesat. Cinta sejati selalu datang pada orang-orang yang berharap berjumpa padanya dan tak pernah berputus asa.

“Kelak saat kau dewasa, kau akan melihat banyak sekali orang-orang yang begitu saja jatuh cinta. Bagi mereka cinta seperti memungut bebatuan di pinggir kali. Banyak betebaran. Bosan bisa dilemparkan jauh-jauh. Kurang, tinggal masukkan batu yang lain ke dalam kantong lainnya. Apakah perangai seperti itu disebut cinta? Tentu saja bagi mereka juga cinta. Tetapi ingatlah selalu Zalaiva-ku, cinta sejati tak sesederhana bebatuan.

“Suatu saat jika kau beruntung menemukan cinta sejatimu. Ketika kalian saling bertatap untuk pertama
kalinya, waktu akan berhenti. Seluruh semesta alam takzim menyampaikan salam. Ada cahaya keindahan yang menyemburat menggetarkan jantung. Hanya orang-orang beruntung yang bisa melihat cahaya itu, apalagi berkesempatan bisa merasakannya.”

“Apakah kakek pernah bertemu dengan cinta?”

Kakeknya tertawa pelan sambil mengelus rambut panjang hitam legam gadis kecilnya. Zalaiva tersenyum, ia sudah terbiasa dengan jawaban tawa pelan seperti itu.

“Apakah cinta memerlukan mata untuk memandang?”

“Tentu tidak, sayang!”

Kakek itu mencium khidmat ujung-ujung jari mungil Zalaiva. Zalaiva tersenyum, ia juga sudah terbiasa dengan jawaban cium ujung-ujung jari seperti itu.

***

Gadis berambut panjang hitam legam itu berdansa anggun sekali di tengah-tengah aula. Gaun merah yang membungkus ketat tubuh indahnya membuat ia terlihat mencolok di antara puluhan pasangan lainnya. Kakikakinya bergerak dengan irama teratur, posisi badannya sempurna sudah. Dan ketika musik terhenti, para hadirin beramai-ramai tak kuasa menahan diri untuk tidak bertepuk tangan.

Dengan anggun gadis itu membungkuk membalas, lantas dibimbing pelahan oleh sang tuan rumah menuju kursi di sudut ruangan. Pesta akan dipotong sebentar dengan sambutan dan jamuan. Tidak. Tidak ada bercak lumpur di bagian bawah gaun pestanya, apalagi dua carik coreng tahi ayam di pipi montoknya. Zalaiva sungguh sudah berubah mempesona. Gadis berbilang dua puluh tahun. Matang dan dewasa.

Ia tumbuh menjadi pedansa terkenal. Dari satu kastil ke kastil lain. Dari satu pesta ke pesta lain. Berpendidikan dan terhormat berkat bimbingan kakeknya. Pengharapan kakeknya sedikit banyak sejauh
ini sudah terwujud: Zalaiva mengecap manisnya hidup, yang tak pernah dikecap oleh kedua orang tuanya, tak pernah dikecap oleh anggota keluarga lainnya, dan juga oleh kakeknya sendiri.

Seorang pelayan berseragam datang mendekati Zalaiva, membungkuk menawarkan segelas anggur. Zalaiva tersenyum mengulurkan tangan menerimanya dengan sopan. Tetapi sayang sekali, belum sampai bibirnya menyentuh gelas kristal itu, seorang pemuda yang entah datangnya dari mana, terburu-buru lewat di hadapannya, menyenggol tidak sengaja tangan mungil Zalaiva. Gadis itu berseru kaget. Gelas anggur di genggaman tangannya terlepas. Pecah berantakan membasahi karpet, juga gaun merahnya.

Pemuda terburu-buru itu jangankan meminta maaf, malah buru-buru pergi menghindar dari tatapan ingin tahu banyak orang. Tinggallah Zalaiva tertegun, memerah mukanya tak tahu berbuat apa. Tangannya menjulur ke bawah hendak meraba-raba memungut beling gelas, ketika tiba-tiba tangan seorang pemuda lain lebih dahulu menyentuh ujung jarinya dengan lembut.

“Jangan dipikirkan, hanya sebuah gelas!”

Suara itu datang bagai angin sorga. Menyergap rasa malu dan kecemasan Zalaiva, lantas melemparkannya jauh-jauh ke masa-masa menyenangkan dulu. Zalaiva mendongak mencari tahu muasal suara.
“Tahukah kau, jika kau melemparkan sebuah gelas dari atas awan, saat jatuh menimpa tanah sedikit pun gelas itu takkan retak sepanjang kau punya sesuatu!”
Zalaiva di tengah keterpanaannya menggangguk begitu lemah. Ia bisa merasakan hembusan nafas pemuda itu di wajahnya yang semakin merah.
“Tahukah kau apakah sesuatu itu”

Zalaiva tidak tahu apakah ia mengangguk atau tidak saat itu. Yang ia tahu secara pasti tiba-tiba jantungnya seperti terseret ke dalam putaran perasaan yang sungguh tidak ia mengerti. Ketika pemuda itu dengan khidmat mencium ujung-ujung jarinya. Ia merasa seluruh semesta alam, tiba-tiba ikut takzim memberikan salam. Waktu berhenti. Semburat cahaya yang menggetarkan muncul menyeruak dari tubuhnya.

Zalaiva tiba-tiba merasa berdiri di atas padang rumput maha luas, semua orang tersaput hilang, semua benda tersingkir jauh-jauh kecuali sebatang pohon mahoni dengan kicau burung-burung dan sebuah rumah mungil beratap rumbia berdinding papan berwarna putih. Ia dan pemuda itu berdiri saling menatap dan saling berpegangan tangan, dari jauh terdengar suara gemerincing air sungai.

Lama sekali Zalaiva mempercayai kata-kata kakeknya dulu. Setiap pagi, saat ia menyiram kembang setaman di bawah jendela kamarnya, Zalaiva menatap langit biru dan berbisik pelan pada semilir angin: ia rindu berjumpa cinta sejatinya dan tak akan pernah berputus asa. Dan hari ini, setelah sekian lama, kesabaran itu akhirnya berbuah. Tuhan mengirimkannya. Ia datang begitu saja, tanpa satu alasan pun yang jelas.

“Apakah kau sakit? Mukamu pucat sekali?”

Pemuda itu membantu Zalaiva duduk kembali di atas sofa. Melambaikan tangan memanggil pelayan agar membersihkan beling tajam di atas karpet. Menarik sapu tangan putih dari lipatan jasnya. Berusaha membantu membersihkan gaun merah Zalaiva.
“Ah, biar. Biar kubersihkan sendiri.”
“Tidak nona. Biarkan aku menghinakan diri dengan membersihkan gaun indahmu.”
Zalaiva terkesima lagi. Jantungnya berdetak tak karuan saat merasakan tangan pemuda itu menyentuh gaun pestanya. Tubuhnya gemetar. “Aku akan memulai perjalanan panjang itu,” desah Zalaiva dalam diam.

***

Nasib!
Aku harus menyalahkan siapa, jika perjalanan mendebarkan itu ternyata tidak terlalu panjang. Panjang aliran sungai itu ternyata hanya sepelemparan batu. Kemudian kandas dihadang dam raksasa. Benar-benar sepelemparan batu, karena malam itu juga semuanya berakhir.

Malam itu, setelah keributan kecil itu berhasil diselesaikan dengan baik. Pemuda itu menawarkan diri menemani Zalaiva berdansa bersama untuk putaran kedua. Andaikata bisa kulukiskan dansa mereka berdua, maka lukisan itu cukup untuk membuatmu tenggelam dalam keagungan perasaan cinta hanya dengan menatap cahaya muka Zalaiva.

Saat Zalaiva malu-malu berpamitan pulang, pemuda itu membantunya menaiki kereta kuda. Saat kereta kuda itu membelah dinginnya malam musim salju, sais kereta, satu-satunya bekas pembantu kakeknya yang masih tersisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang pemuda itu. Jawaban dengan suara tertahan, layaknya seseorang yang sedang kedinginan mengendalikan laju kereta.

Tetapi bagi Zalaiva, suara tertahan itu seperti berubah menjadi sembilu yang tanpa ampun mengirisiris jantungnya. Ia tidak peduli dengan seberapa tampan dan seberapa kuasanya pemuda itu, fakta singkat yang tiba-tiba membuatnya menggigil adalah saat sais kereta mengatakan: pemuda itu minggu depan akan menikah.

Tak penting dengan siapa. Tak penting siapa wanita itu. Tak penting semua itu. Zalaiva merasa amat merana. Bohong. Kakeknya berbohong. Cinta tidak seperti air sungai, sejuk dan menyenangkan. Baginya sekarang cinta lebih seperti moncong meriam. Sesaat lalu melontarkannya tingi-tinggi sekali hingga ke atas awan, tetapi sekejap kemudian menghujamkannya dalamdalam ke perut bumi.

Terhempaskan.

Tidak. Cinta tidak memberikannya sepasang sayap indah. Ia bukan hanya tidak bisa terbang sekarang,
untuk bergerak sedikit pun terasa menyakitkan sekali.

Zalaiva menangis dalam diam.

Cinta tidak membuat ia merasa memiliki dunia ini, ia justeru merasa kehadirannya di dunia sia-sia belaka. Cinta memang lebih mirip hantu, semua orang membicarakannya, tetapi sedikit sekali yang benarbenar pernah melihatnya. Dan ketika kau berhasil melihatnya kau lari sungguh ketakutan.

Kakeknya jelas lupa mengajarkannya soal akhir sebuah percintaan. Cinta sejati tidak selalu seperti musik yang membuatmu tetap menari meskipun sudah lama berhenti. Ia sekarang justeru mengharapkan musik itu tidak sedetik pun pernah dimainkan.

Zalaiva merintih dalam sunyi.

Kakeknya hanya benar satu hal. Hanya satu hal. Kalian sama sekali tidak memerlukan mata untuk memandang cinta sejatimu. Tidak memerlukan kelopak mata untuk mengenalinya. Ia selalu datang, tak pernah tersesat.

Zalaiva sekali lagi dalam diam menyeka kedua matanya. Mata yang sama sekali tak terdapat bintik hitam di bolanya.

Zalaiva buta.

***


Repost atas izin penulis
Dari buku : Mimpi-mimpi si Patah HatiKarya : Tere-liye




READ MORE - Pandangan Pertama Zalaiva

Selasa, 06 September 2011

Hiks! Kupikir Kau Naksir Aku...



Ini benar-benar menyebalkan, tabiat Putri mirip banget dengan cewek lain yang sedang jatuh cinta. Selalu membesar-besarkan sebuah kejadian. Tertawa riang saat menceritakan kejadian-kejadian sepele tersebut. Seolah-olah itu pertanda cinta yang sempurna kalau yang sedang ditaksirnya benar-benar juga menyukainya.

Bayangin, cowok itu lagi kentut saja, mungkin bisa diartikan Putri kalau tuh cowok grogi saat ketemu dengannya. Apalagi pas lihat mukanya memerah. Keringatan. “Aduh, aku nggak nyangka dia bakal se-nervous itu, Tin! Kayaknya dia juga suka ke aku, deh!” Mata Putri berbinar-binar macam bintang kejora saat menceritakannya. Padahal kalau Putri mau waras sedikit, jelas-jelas cowok itu sedang kebelet mau ke belakang. Pengin puf! Tapi mana ada coba rasionalitas bagi orang yang sedang jatuh-cinta setengah mampus seperti Putri?

Mungkin ada benarnya juga buku-buku itu bilang. Orang-orang yang jatuh-cinta terkadang terbelenggu oleh ilusi yang diciptakan oleh hatinya sendiri. Ia tak kuasa lagi membedakan mana yang benar-benar nyata, mana yang hasil kreasi hatinya yang sedang memendam rindu. Kejadian-kejadian kecil, cukup sudah untuk membuatnya senang. Merasa seolah-olah itu kabar baik…. Padahal saat ia tahu kalau itu hanya bualan perasaannya, maka saat itulah hatinya akan hancur berkeping-keping. Patah-hati! Menuduh seseorang itu mempermainkan dirinya. Lah? Siapa yang mempermainkan siapa, coba?

Untuk menjelaskan urusan ini, dan agar kalian paham betapa menjengkelkan tabiat Putri selama seminggu terakhir, akan aku daftar berbagai kejadian remeh-temeh yang justru bagi Putri seperti pertanda terbesar dalam kehidupan cintanya. Semoga setelah itu kalian juga bisa membandingkannya dengan tabiat kalian selama ini. Ternyata perasaan itu semua hanya ada di hati kalian doang. Dia? Nggak sedikit pun! Kalian apa mau dikata hanya bertepuk sebelah-tangan, hihi.

***
Kejadian Pertama. Rio. Ganteng? Jangan ditanya.
Rio satu kampus denganku dan Putri. Sejak dulu Putri sudah menjadi penggemar beratnya.
Hanya saja selama ini belum ada kesempatan. Belum ada pemicunya. Jadi ya Putri sebatas pengagum rahasia. Paling hanya celetukan di warung tenda sepanjang jalan depan kostan saat kami makan malam. Hanya itu. Putri belum naksir berat dengan Rio. Sama-lah seperti teman-teman cewek lainnya yang asyik membicarakan cowok keren.

Celakanya, persis seminggu lalu dimulailah seluruh rangkaian kejadian menggelikan ini. Perasaan terpesona Putri tercungkil sudah. Malam itu selepas dari warung tenda, aku dan Putri berkunjung ke Bubu! Kafe buku dekat kostan. Tempat yang asyik buat baca buku. Konsepnya separuh kafe, separuh toko-buku. Cozy. Menyenangkan menghabiskan waktu di sana. Duduk nyaman dengan segelas jus segar. Koleksi mereka nggak sekomplet toko-buku besar, tapi untuk novel-novel pop cukup memadai. Sari teman kostan juga ikut ke Bubu. Malam itu Putri entah mengapa mau saja ikut. Padahal ia paling benci disuruh baca novel. Hidupnya memang selama ini hanya dihabiskan untuk belajar, hihi.

Aku, Sari dan Putri duduk di salah satu sudut ruangan. Lihat, tuh! Sementara aku tenggelam membaca sebuah novel hasil karya pengarang domestik amatiran, Putri asyik mengerjakan PR kuliah! Lengang. Setengah jam berlalu begitu saja.
Dan eng-ing-eng, coba tebak siapa yang datang persis saat jam berdentang 24.00, eh becanda ding, maksudku persis pukul 20.00. Yups! Rio yang mengenakan jeans belel dan kaos putih. Rio yang berbasa-basi dengan penjaga Kafe. Lantas melihat ke sekeliling. Rio yang kemudian melambaikan tangannya kepadaku. Tersenyum lebar.

Biasa saja, kan? Aku kenal baik dengan Rio. Sama seperti Putri juga mengenalnya. Kami jelas-jelas satu kampus? Rio lantas rileks beranjak ke sudut ruangan. Entahlah, mungkin mencari buku yang diinginkannya. Tapi apa yang sedang dipikirkan Putri saat itu, tiba-tiba mukanya bersemu amat merahnya. Aku tidak terlalu memperhatikan.
Satu jam berlalu. Satu jam yang aku pikir juga biasa saja. Tidak ada kejadian penting. Hanya desis suara kipas AC yang terdengar. Aku membawa pulang novel yang baru setengah selesai kubaca. Bubu menyediakan fasilitas pinjam-meminjam. Putri menumpuk kertas PR-nya.

Tapi tahukah kalian apa yang terjadi ketika kami persis tiba di kamar kostan. Putri sempurna mengajakku bicara tentang Rio!  Bertanya banyak hal, berkomentar banyak hal. Rio! Rio! Kemudian di sana-sini terseliplah apa yang tadi kubilang? Ilusi hati yang menipu otak.

“Dia tadi pas masuk melambaikan tangannya ke gw, Tin. Dia tersenyum lebar…. Gw nggak nyangka kalau dia begitu ramah. Aku pikir orangnya sombong!”

Aku hanya mengangkat bahu. Well, siapa pula yang bilang Rio sombong? Cowok yang baik. Siapapun juga akan lazim melambaikan tangan satu-sama lain, kan? Biasa saja!

“Lu tahu nggak, Tin, satu jam terakhir di Kelambu, Bambu, eh Bubu ya namanya? Dia sering banget ngelihat ke meja kita. Gw malah sempat bersitatap dengannya satu kali. Dia tersenyum lebaaar banget….”

Well, itu juga biasa saja, kan?
“Eh, nggak sekali deh Tin…. Dua-eh kayaknya lebih dari dua kali! Duh, tampannya….” Muka Putri mulai memerah.
Aku menatapnya penuh selidik (waktu itu sih aku belum sejengkel sekarang melihatnya). Tertawa lebar.
“Lu naksir Rio, ya?” Menggoda.
Putri melemparku dengan bantal guling.
“Kenapa ya dia sering banget ngelirik ke meja kita tadi?” Putri mematut-matut. Menatap langit-langit kamar kostan.
“Itu kan perasaan lu dong, Put!”
“Nggak, kok. Beneran….” Putri ngotot.
“Yaaa, lagian biasa saja, kan. Nggak selamanya orang baca selalu melotot ke bukunya. Lu juga sering sekali-dua rileks menatap sekitar….” Aku memungut guling yang jatuh.
“Tapi ini beda, Tin. Gw kan tahu mana lirikan yang tidak sengaja, mana yang disengaja….” Putri bersemu merah.

Aku mengangkat bahu. Sudah larut. Malas melanjutkan percakapan. Aku juga malas memikirkan kelanjutan obrolan kami. Paling hanya percakapan iseng untuk yang ke sekian kalinya. Tapi apa daya, tanpa kusadari, malam itu perasaan Putri ke Rio sempurna tercungkil sudah.

***

Kejadian Kedua. Malam berikutnya Putri semangat banget berkunjung ke Bubu. Menyeretku. Aku hanya tertawa kecil. Sari, teman kami satu kostan lainnya ikut lagi, pengin balikin buku.
Sepanjang perjalanan Putri berkali-kali bilang soal, semoga Rio ada di sana. Bertanya lagi tentang Rio. Berkomentar lagi tentang Rio. Rio! Rio! “Eh, gw yakin banget bakal ketemu dia, kok! Kalian kok sirik banget, sih!” Putri menjawab sebal saat aku dan Sari menggodanya tentang penderita psikis obsesif yang sok-tahu.

Dan benar saja, Rio ada di sana. Lagi-lagi tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Aku pikir Putri agak berlebihan membalas senyum dan lambaian itu. Tapi sudahlah.

Malam itu jadwal bacaku dua jam di Bubu mendadak berubah amat menyebalkan. Aku, Sari dan Putri duduk satu meja. Putri berkali-kali menyikut lenganku setiap kali Rio menatap meja kami. Aku terpaksa mengangkat kepala, melihat Rio yang mengangguk ke meja kami. Aku ikut tersenyum, basa-basi membalas anggukan.
Dan itu benar-benar jadi ‘bahan pembenaran’ ilusi Putri kalau Rio memang sengaja atas berbagai lirikan tersebut saat kami kembali ke kostan.

“Apa yang aku bilang semalam, dia memang sengaja melihat ke meja kita, kan. Dia memang sengaja melirik gw?” Putri berkata antusias. Pipinya merona. Membayangkan kemungkinan terindah yang ada di benaknya.
“Biasa saja lagi, Put…. Lu aja yang keseringan ngelirik dia…. Jadi dia reflek mengangkat kepalanya. Siapapun yang sedang diperhatikan pasti reflek menoleh ke orang yang sedang menatapnya, kan? Itu logis! Rio hanya merasa lu terlalu sering memperhatikannya. Jadi dia juga sering melirik lu…. Mahasiswa psikologi tahun pertama saja tahu analisis aksi-reaksi sederhana seperti itu, Non!” Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak memedulikan.
“Lu kenapa sih nggak suka lihat teman senang?” Putri melemparku lagi dengan bantal. Sebal.
Aku tertawa.

“Lagi pula lu lihat sendiri apa yang gw bilang soal Rio pasti ada di Kelambu, eh, Bambu, eh Bubu tadi. Benar, kan? Dia ada di sana! Dia pasti sengaja menyempatkan datang buat bertemu lagi, kan. Sama seperti…. Eh, maksudku sama seperti kita!” Putri bersemu merah.

Aku tertawa lebih lebar. Maksud Putri sebenarnya sama seperti dirinya yang maksa-maksa datang lagi ke Bubu. Lazimnya kalau kalian memang ditakdirkan berjodoh, terus ada feeling satu-sama lain saat pertama kali bertemu, esok-lusa kalian biasanya akan memaksakan diri untuk kembali ke tempat pertemuan pertama. Itu lumrah. Seperti ada sesuatu yang mengendalikan perasaan kalian. Tapi kasus Putri beda banget.

Aku malas menjelaskan kalau sebenarnya Rio memang setiap malam berkunjung ke Bubu. Bahkan jauh-jauh hari sebelum aku terbiasa datang ke sana (juga) setiap malam. Tapi malam itu aku tak bisa berhenti berpikir. Jangan-jangan Putri benar. Tidak biasanya Rio melirik ke meja tempatku duduk selama ini, kan? Jangan-jangan dia naksir….
Jelas-jelas pasti bukan naksir Putri…. Aku mengusir jauh-jauh kemungkinan itu.

***

Kejadian Ketiga. Malam berikutnya. Seperti yang kalian duga, aku dan Putri kembali berkunjung ke Bubu. Kali ini dengan semangat pembuktian. Tadi sepanjang siang aku menggodanya: “Itu hanya perasaan lu dong, Put!” Dan Putri yang marah, mengajakku untuk membuktikannya malam ini.

Yups! Rio sudah duduk rapi di meja seperti biasanya. Dan dua jam itu benar-benar berubah menjengkelkan bagiku. Putri menyikut, menginjak kaki, mencubit, bahkan hampir menarik rambutku setiap kali melihat Rio melihat ke meja kami.

“Biasa saja dong, Put!” Aku mendesis bete.
“Dia ngelihatin gw, tuh!” Putri berbisik dengan wajah sempurna merah.
“Gimana dia nggak akan balik ngelihatin lu, kalau lu nggak sedetik pun berhenti menatapnya….” Aku menjawab mengkal.
Rio di seberang meja menganggukkan kepala. Tersenyum. Aku pura-pura ikut tersenyum. Basa-basi melambaikan tangan.
“Bisa nggak sih lu bersikap biasa saja? Rio mungkin saja risih dengan kelakuan lu yang menatapnya terus!” Aku menarik tangan Putri yang melambai ‘genit’.
Putri hanya mendesis. Mencubit pahaku. Ampun, dah! Lumrah kan kalau Rio berkali-kali menatap Putri. Lah, Putri ‘melotot’ tak henti melihatnya. Malam itu aku mulai jengkel.

Celakanya, saat kami beranjak pulang (aku lama membujuk Putri agar mau pulang), Putri tidak sengaja meninggalkan selembar berkas PR-nya di meja. Rio berseru memanggil saat kami hampir tiba di pintu keluar Bubu.
“Kertasnya ketinggalan, Put!” Rio tersenyum.
“Eh…. Eh-iya, lupa….” Putri sedikit salah-tingkah.
“Kan repot kalau gw mesti antar kertas ini ke kostan lu…. Gw kan nggak tahu kostan lu….” Rio tertawa lebar.
Putri mendadak gagap menjawabnya. Menerima kertas itu dengan tangan sedikit bergetar. “Makacih….” Berkata pelan.
Aku sudah menariknya buru-buru. Sebelum Putri melakukan hal-hal yang memalukan, hihi. Dan Putri benar-benar buncah saat kami tiba di kamar kostan.
“Apa lagi coba maksudnya. Jelas-jelas dia nanya alamat kostan gw, kan?” Putri berseru riang, sibuk ‘menganalisis’ kejadian sekaligus kalimat Rio barusan.
“Kenapa lu nggak sebut saja alamatnya tadi? Biar dia bisa ngelihat kelakuan aneh lu sekarang!” Aku menjawab malas. Masa’ sih kalian bisa menyimpulkan kalimat Rio tadi sebagai tanda: boleh aku tahu alamat rumahmu?
“Dasar anti-sosial!” Putri menimpukku dengan bantal, “Lu, emang nggak pernah senang lihat orang lain bahagia, Tin! Bukannya lu tadi yang narik gw buru-buru pergi!“
Aku tertawa lebar. Come-on! Jelas-jelas kalimat Rio barusan nggak ada maksudnya! Hanya bergurau. Bagaimana mungkin Putri menganggapnya se-serius itu?

Malam itu aku lebih banyak lagi berpikir. Rio tahu nama Putri? Jangan-jangan apa yang disangka Putri benar, Rio naksir Putri. Aku mengumpat langit-langit kamar. Itu tidak mungkin. Jelas-jelas maksud kalimat Rio tadi ke aku, kan? Hanya saja ia merasa jauh lebih nyaman kalau menyampaikannya lewat Putri. Aku tersipu malu. Melempar guling sembarangan….

***

Kejadian Keempat. Kali ini benar-benar membuatku jengkel sekaligus bingung. Hari keempat. Itu persis hari ulang-tahun Putri. Malam itu kami tidak ke Bubu, meski Putri sengotot apapun hendak pergi ke sana. Lagi pula Putri memang tidak merencanakan pergi ke sana.

Kami merayakan ulang-tahun Putri di salah-satu warung tenda yang banyak memadati sepanjang jalan. Soto Konro. Aku, Sari dan beberapa teman sekostan ramai memenuhi meja panjang. Putri yang traktir. Sepanjang makan kami bukannya bilang terima-kasih, kami justru sibuk menggoda Putri dengan gumpal perasaannya itu. Putri mengkal banget saat aku lagi-lagi bilang tentang itu hanya perasaannya doang. Dan semua teman yang lain mengamini-ku.

Putri mendesis kalau ia dan Rio memang benar-benar ada feeling satu sama lain saat bertemu di Bubu. Aku tertawa lebar. Teman-teman yang lain ikut tertawa. Tetapi, astaga! belum habis tawa-ku, belum lenyap suara riuh-rendah itu, entah bagaimana penjelasannya, Rio mendadak muncul di warung tenda itu. Dengan jaket tebal keren. Sek-si!
“Hei…. Allo semua…. Eh, kalian sedang ada di sini? Lagi kumpul semuanya? Kebetulan banget.” Rio tersenyum amat gagah-nya. Membuat keributan terhenti sejenak.
Dan kalian bisa membayangkan apa yang terjadi malam itu di kamar kostanku. Aku kehabisan peluru untuk memutar balik semua kalimat Putri.
“Itu kebetulan, Put! Kan Rio juga bilang kebetulan—” Aku mulai putus asa.
“Sengaja, Tin! Nggak mungkin dia kebetulan doang datang ke tenda itu tadi, semua orang di planet ini juga tahu kalau gw ulang-tahun malam ini….” Putri memotong, tersinggung.
“Oke sengaja…. Tapi belum tentu juga pengin nemuin lu, kan? Bisa jadi sengaja ingin bertemu dengan orang lain—“
“Siapa?” Putri memotong galak.
Aku terdiam menggigit bibir.
Putri menatapku tajam. Menyelidik.
“Ah— Gw ngerti kenapa lu selama ini selalu membantah seluruh kalimat gw…. Lu juga naksir Rio, kan? Ayo ngaku!” Putri mendadak tertawa.
Aku buru-buru menggeleng. Meski muka bersemu merah.
“Ayo ngaku, Tin! Lu juga naksir dia, kan? Aduh, Tina cayang…. Kacian…. ternyata Rio naksir gw…. Jangan patah-hati ya….” Putri tertawa amat lebarnya. Senang dengan fakta baru tersebut. Malam itu aku yang menimpuk Putri dengan bantal guling. Menyebalkan.

***

Kejadian Kelima. Dan sejak malam ulang-tahun Putri, tidak ada lagi diskusi menarik antara aku dan Putri soal Rio. Aku bukan hanya semakin jengkel dengan laporan Putri atas hal-hal sepele yang seolah-olah pertanda cinta terbesar miliknya. Aku juga semakin jengkel karena Putri balas membalik kalimatku, “Lu nggak terima ya kalau Rio ternyata beneran naksir aku?”

Dan kalimat itu sungguh membuatku salah-tingkah. Baiklah, kuakui saja kalau aku memang naksir Rio. Tapi setidaknya aku masih bisa berpikir logis. Mana yang sebenarnya pertanda cinta, mana yang hanya sekadar kebetulan, dialog biasa, atau sejenisnyalah! Aku juga berharap selama ini Rio akan memberikan pertanda isi hatinya, tapi bukan berarti aku akan ngarang-ngarang pertanda itu. Membiarkan hati membuat ilusi. Membiarkan hati menyimpulkan hal keliru (yang aku tahu benar itu semua semu). Putri hanya tertawa cekikikan saat aku mati-matian membela diri dan menjelaskan teoriitu.
Aku mengumpatnya sebal. Semoga Putri tidak sakit-hati saat tahu kalau sebenarnya segala lirikan Rio, senyuman Rio, dan juga pertemuan tidak sengaja di ulang-tahunnya itu sebenarnya untukku. Bukan untuknnya. Aku berseru jengkel. Putri malah bertingkah semakin menyebalkan.

Maka datanglah kejadian kelima itu. Yang benar-benar membuat Putri menyadari kalau ia selama ini keliru. Tadi pagi aku dan Putri bertemu Rio di kampus. Seperti biasa aku pikir Putri berlebihan bersikap. Kami membicarakan urusan biasa-biasa saja. Kuliah, dosen, dan sebagainya. Yang aku yakin nanti bisa-bisanya Putri menterjemahkannya jadi luar-biasa.
Tapi kali ini Putri tidak berkesempatan lagi. Entah mengapa pembicaraan mendadak menyinggung konser musik esok-malam di JHCC. “Aku punya dua tiket, lu mau ikut?” Rio menunjukkan dua tiket miliknya.
Putri semangat banget mengangguk.

Ya ampun, yang diajak ternyata aku. Senyap menggantung. Tamat sudah riwayatnya. Aku tidak tahu harus bilang apa saat Rio mengajakku. Apakah aku bahagia? Apakah aku sedih? Lihatlah, Putri hanya terdiam sepanjang sisa pertemuan di kampus. Malamnya juga mengurung diri di kamar. Patah-hati. Aku memutuskan untuk tidak pura-pura sok-baik bersimpati padanya malam ini. Lihatlah, saat ilusi itu terkena cahaya kebenaran yang tersisa hanyalah kesedihan. Sendu. Besok-besok kalau sempat aku akan membujuknya untuk melupakan seluruh perasaan itu.

Rio mengajakku nonton? Nah, kalau itu jelas sudah pertanda cinta yang luar-biasa. Itu benar-benar menjelaskan kenapa ia selalu tersenyum dan melambai setiap melihatku di Bubu. Selalu sembunyi-sembunyi menatap meja bacaku. Juga datang sengaja ke ulang-tahun Putri. Itu menjelaskan semuanya….
Aku bersenandung riang memikirkan hal tersebut.

***

Esok malamnya. Aku menyiapkan gaun terbaik. Berdandan semenarik mungkin. Lantas riang menuju jalanan depan kostan. Menunggu Rio menjemput di depan Bubu. Putri menatapku dengan mata terluka dari balik jendela. Entahlah! Aku tidak sempat memperhatikannya.

Rio seperti biasa tersenyum lebar menemuiku. Gagah sekali. Dan Sek-si. Aku benar-benar bangga bersanding bersamanya. Inilah yang disebut dengan sebenar-benarnya pertanda cinta. Bukan bualan hati yang mereka-reka. Rio melambai memanggil taksi biru. Kami melaju menuju JHCC. Bukan main. Ini akan jadi kencan yang hebat.

“Tin, aku boleh tanya sesuatu, nggak?” Rio memutus senyum manyunku. Dia menatapku sambil tersenyum lebar.
Aku mengangguk (cepat). Tersipu malu. Sesuatu?
“Tapi kamu jangan tertawa, ya?” Rio bersemu merah.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku mentertawakannya. Aku semakin buncah oleh perasaanmenunggu. Akhirnya—
Hening sejenak. Rio mematut-matut apa yang akan dikatakannya. Aku tertawa melihat mukategangnya.
“Tuh, kan…. Kamu sudah tertawa duluan!”
“Sorry…. Nggak deh. Aku nggak akan tertawa!”
Rio mengusap wajahnya yang berkeringat.
Aku menunggu dengan hati berdebar-debar.
“Eh…. Ergh…. Sari tuh sudah punya pacar belum?”
Seketika aku mematung.

“Sa-ri?”
“Ya, Sari…. Satu kost sama lu dan Putri, kan?”
Seketika luntur seluruh kebahagiaan itu.
Kepalaku mendadak pusing. Berkunang-kunang. Aku sungguh tidak bisa mendengarkan lagi kalimat Rio berikutnya.
“Tin, aku sudah lama banget naksir Sari. Tiga hari lalu waktu lihat lu, Putri dan Sari di Bubu, aku nggak bisa menahan diri untuk berhenti meliriknya…. Menatap wajah cantiknya…. Aku dari dulu sudah mau nanya-nanya ke lu, tapi selalu cemas lu bakal ngetawain…. Sayang, pas gw bilang nggak tahu kostan Putri di mana, lu nggak mau jawab, malah kabur….
Kepalaku semakin pusing…. Ternyata, ini semua maksudnya….
“Waktu Putri ulang-tahun aku juga sengaja datang, Tin…. Biar ketemu Sari…. Ampun, kenapa gw jadi malu-maluin gini, ya? Harusnya gw bisa ngajak Sari ngobrol langsung malam itu, kan…. Tapi sudahlah…. Malam ini gw ngajak lu nonton konser sebenarnya pengin nanya-nanya soal Sari…. Lu nggak keberatan kan, Tin?”

Aku tidak lagi mendengarkan kalimat Rio. Aku sudah terkapar di atas kursi mobil taksi. Ilusi itu! Ya Tuhan, aku sempurna tertikam oleh ilusiku sendiri. Pengkhianatan oleh hatiku yang sibuk menguntai simpul pertanda cinta.
Putri! Hiks! Ternyata kita senasib…

***

Repost atas izin penulis
Dari buku : Mimpi-mimpi si Patah Hati
Karya : Tere-liye
READ MORE - Hiks! Kupikir Kau Naksir Aku...