WELCOME to MY BLOG

Bagi akhi & ukhti yang ingin meng-copy catatan ato artikel di blog ini, mohon cantumkan sumber setiap catatan di tersenyumlah-hati.blogspot.com demi menjaga keaslian tulisan / karya ato share dilaman networking via share tool dibawah setiap catatan...

Mari berbagi...


- Tersenyumlah -

Jumat, 29 Juni 2012

Biarkan = Benahi


Biarkan saja,
orang menyebutmu cantik
yang parasnya menawan hati
setiap insan yang memandang

Biarkan saja,
Orang memandangmu jelita
Yang setiap kedipan mata
Bisa menggugurkan bunga

Biarkan saja,
Orang berdecak padamu
Karena kecerdasan yang tertanam
Membuat segala urusan tak berlaku

Biarkan saja,
Orang menggunjing tentangmu
Yang tiada punya cinta
Seperti yang mereka perankan

Biarkan saja,
Orang merendahkanmu
Yang ternyata tak luput
Melakukan kesalahan

Biarkan saja,
Orang meragu
Atas kebersihan harta
Yang telah tersimpul

Cantik itu,
Terbiasa berbuat baik
Terbiasa menebar senyum
Tidak merasa cantik

Jelita itu,
Tak perlu kedipan mata
Tapi uluran tangan
Meski dilanda kesusahan
 
Cerdas itu,

Bukan kepala yang bicara
Tapi tindakan yang terbaca
Membagi manfaat

Memiliki Cinta,
Tak mesti harus diumumkan
Cukup dihati yang terdalam
Diam, tapi berbunga

Direndahkan,
Tidak akan membuat rendah
Selama rendah hanya dihati
Bukan dalam diri

Diragukan,
Bukan berarti harus meragu
Yakinlah ada Yang Maha Tahu
Yang tiada pernah lengah

Menjadi cantiklah,
bukan (hanya) dirimu,
tapi hatimu
Hingga cantikmu merona, tak membusung dada

Menjadi kayalah,
Bukan (hanya) harta,
Tapi jiwamu
Hingga kayamu menyemai, tak menumpuk

Hati yang cantik
Jiwa yang kaya
Tiada akan terlupa
Tiada akan meragu

~ Tiada daya dan upaya, selain dariNYA ~
~ Semua berasal dariNYA, dan akan kembali kepadaNYA ~





Post Comment
READ MORE - Biarkan = Benahi

Selasa, 26 Juni 2012

Cinta seorang wanita


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...

“Cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi.”

Perumpamaan di atas terilhami melalui sebuah dialog dalam adegan film “Bulan Tertusuk Ilalang” karya Garin Nugroho. Betapa menakjubkan. Dan kalimat itu mengingatkan saya pada kenangan tentang sahabat saya dan mamanya ketika masa-masa SMP-SMU dulu.

Kala itu, nyaris setiap hari saya main ke rumahnya yang jauh di selatan kota. Saya tahu dia anak orang kaya. Papanya, pimpinan sebuah instansi pemerintah terkemuka di kota saya dan mamanya adalah ibu rumah tangga biasa. Saya tak heran mendapati barang-barang bagus dan bermerk di rumahnya yang masih dalam tahap renovasi. Sofa yang empuk, televisi yang besar. Saya hanya bisa berdecak kagum sekaligus iri.

Tapi, lama-lama saya menyadari bahwa isi rumah itu makin kosong dari hari ke hari. Perabotan yang satu per satu lenyap dan televisi yang ‘mengkerut’ dari 29 inchi ke 14 inchi.

Perubahan paling mencolok adalah wajah mama sahabat saya. Suatu saat ketika ia berbicara, tak sengaja saya dapati suatu kenyataan bahwa mama sahabat saya itu kini ompong! Kira-kira 2-3 gigi depannya hilang entah kemana.

Saya tak berani –lebih tepatnya tak tega – untuk bertanya. Saya juga tak mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, sebuah suara, jauh di lubuk hati saya bergema : “Sesuatu yang buruk telah terjadi di rumah itu!”

Benarlah, tanpa diminta akhirnya sahabat saya datang berkunjung ke rumah saya. Setengah berbisik, ia bercerita bahwa papanya selingkuh dengan perempuan lain dan karenanya, nyaris tak pernah pulang ke rumah. Dan ini bukan main-main, perempuan itu hamil dan menuntut pertanggung jawaban papanya.

Dengan emosi ia bercerita bahwa papanya mengajaknya ke rumah perempuan itu dan meminta sahabat saya untuk memanggilnya dengan sebutan “Mama”.

Sebuah permintaan menyakitkan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh sahabat saya. “Mamaku cuma satu” tangkisnya tegar saat itu. Dan misteri tentang gigi mamanya yang tiba-tiba ompong, barang-barang mewah dan perabot yang satu per satu menghilang dari rumahnya pun terkuak sudah. Semuanya adalah akibat ulah papanya jua.

Dan setengah frustasi ia mengadu pada saya bahwa ia harus menanggung semua beban berat itu sendirian karena kakak satu-satunya yang kuliah di luar kota tak peduli dan tak mau memikirkan masalah itu. Mamanya pun –yang lemah lembut— tak bisa berbuat banyak dengan kelakuan suaminya. Ia cuma bisa pasrah, gigi yang ompong itu buktinya. Dan saya? Hanya doa dan motivasi yang bisa saya berikan agar sahabat saya itu tabah dan tak putus berdoa.

Toh sekarang, setelah lama peristiwa itu berlalu, doa sahabat saya pun dijawab oleh Tuhan. Ketika itu menjelang kelulusan SMU, ia bercerita pada saya bahwa papanya sudah ‘sembuh’, bertobat, dan kembali ke pangkuan istri dan anak-anaknya.

Nasib the other women itu entah bagaimana. Sampai di sini persoalan beres. Dan saya takjub mendengarnya, senang sekaligus heran.

Bagaimana mungkin masalah pelik ini bisa selesai semudah itu? Nurani keadilan saya berontak. Saya tak habis pikir, betapa mudahnya mama sahabat saya itu memaafkan dan menerima kembali suaminya setelah semua yang dilakukannya. Lelaki itu tak cuma berkhianat, tapi juga menyakiti fisiknya, merontokkan gigi-gigi depannya, tak menafkahi anak-anaknya dan nyaris mengosongkan isi rumahnya. Dan ia memaafkannya begitu saja.

Sebuah kenyataan yang ternyata banyak juga saya temui di masyarakat kita. Perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga yang bisa diselesaikan dengan mudah, hanya dengan kata maaf. Mungkin inilah yang disebut orang sebagai “CINTA”!

Papa sahabat saya adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, dan ketika ia meletus, laharnya meluap kemana-mana, menghanguskan apa saja, melukai fisik dan terutama hati dan jiwa istri dan anak-anaknya.

Mama sahabat saya adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku. Memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tak peduli jika kuku itu dipotong, bahkan jika jari itu rusak dan sang kuku terpaksa harus dicabut, meski sakitnya tak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi.

Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang saya yakin tak cuma dimiliki oleh mama sahabat saya itu. Cinta yang terwujud dalam sebuah tindakan agung : “Memaafkan”.

Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, butuh energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah bernama perempuan.
~ o ~





Post Comment
READ MORE - Cinta seorang wanita

Sabtu, 09 Juni 2012

Gerimis dan Hujan



Teruntuk dia yang gerimis hatinya
sedang menghujan...(mungkin)

Pada angin kutitipkan untuk hatimu
Terimakasih telah kau pilih, hati ini
Pun diri ini tersanjung atas maksud muliamu
Diri ini kini telah memberikan jawaban

Mungkin tak pernah terbayangkan
Juga tak terfikirkan, oleh hatimu
Bahwa hati yang kau harapkan
Telah menghancurkan setiap harapan

Tak ada niat menyakiti, meski ini sakit
Tak ada maksud menghancurkan, meski nyatanya hancur
Keputusan telah menempuh berbagai tahapan
Hingga kelak menjadi tangga kearah kebaikan, semoga

Sungguh, diri ini mengakui
Telah melakukan kesalahan
Yang membuat hatimu tak berdaya
Hingga menempatkanku, begitu dalam dihati

Semestinya, hati ini dapat menjawab
Ketika kau mengucap,
tak cukup berhargakah diriku bagimu?
Diam, berkali-kali diam
Namun, bukan karena tak ada jawaban
Biarlah Tuhan saja yang tahu
Rasa ini, entah apa

Simpulan yang kupunya
Perhatianmu yang melimpah
Juga kata cinta yang begitu indah
Dan do’a-do’a khusukmu dimalam yang sepertiga
Nyatanya belumlah cukup untuk menjadi pemimpinku
Nyatanya bukanlah cinta yang kuidamkan

Bukan semata untuk merendahkanmu
Bukan untuk menghancurkan istana megahmu
Yang kau telah dirikan dengan sepenuh harapan
Yang kau ukir dengan tawa, senyum, tangis bahagia
Dengan perhatian, dan mencintaiku

Kau katakan aku adalah abu-abu
Tak bisa apa adanya menerimamu
Tak seharusnya aku menjauh
Tak seharusnya ada penolakan itu
Ternyata sia-sia kau menunggu

Ya... Aku tak bisa melengkapi kekuranganmu
Lalu kau pun menyesal tak bertopeng : baik
Kau bilang telah persiapkan semuanya
Juga tentang penantianmu yang sebulan
Berujung luka beribu bulan
Bahwa akulah yang paling kau cintai
Setelah orangtuamu, guru-gurumu
Kemana kan kau cari ganti?

Terhenyak, terhentak
Kukatakan tiada kesia-siaan itu
Kecuali kita tak mencari makna
Dari setiap kejadian
Hikmah dari setiap keadaan

Kau lanjutkan dengan kemarahan tak berujung
Membenarkan pradugamu tentangku
Yang tak memiliki perasaan
Yang menanggapmu sebagai setan
Karena telah membuatku berdosa
Hingga mengukir ujung kisah dengan penolakan
Yang tengah memperbaiki diri untuk orang lain
Dan menjadikanmu sebagai tumbal
Yang telah membuat perhatianmu menjadi terlarang
Yang membuatmu bertanya : adilkah ini?
Lalu apa yang harus kulakukan?
Sedangkan pertanyaan bertubi-tubi kau layangkan
Salahkah untaian kata yang telah kupilih?
Salahkah jawaban yang telah ku ucap?
Begitu buruknya kah diri ini
Hingga membuatnya berpraduga sekejam itu?
Sedang ku hanya bisa menahan nafas
Tuhan,,,
Rasa-rasanya hamba telah memilih
Kata-kata yang tidak setajam pedang
Hingga dapat begitu menyayat hatinya
Pun penjelasan yang terang benderang
Hingga dia tak perlu lagi menduga
Lalu kau berucap
masih mengharapkanku
Dan meminta kesempatan
Akulah yang terbaik untukmu
Dan tak mungkin bagimu
Menghapus namaku, dihatimu
Seolah tiada pandangan dan kehendak Tuhan
Kukatakan,
Tempuhlah perbaikan diri
Mendekat pada Tuhan
Kelak Tuhan-lah yang akan memilihkan
Bidadari yang khusus dicipta
Bahkan lebih baik dari manusia
Bernama “Aku”
Kau pun mempertanyakan
Tak pernahkah hatiku merasakan
Tentang cinta, sayang
Dan tangisan malam ini?
Jika harus kukatakan
Aku mengerti, bahkan dengan sangat
Namun, ketika ku merangkai
kata-kata terbaik yang ku punya
untuk menjaga hatimu
Kau dengan sengaja menghujamkan
Praduga dan kata yang menusuk hatiku
Dengan sangaat kejam
Sadarkah kau?
Kesakitanmu, dapat kumengerti
Kemarahanmu, dapat kupahami
Lukamu, dapat kumaklumi
Meski kau tak mengerti, sakitnya aku
Walau tak kau pahami, terlukanya aku
Keputusanku, untuk menjauh
Tanpa menghiraukan sikapmu
Telah kuambil
Sesuai katamu

Keputusanku, untuk diam
Bukan hanya untuk menjaga hatimu
Juga untuk menjaga hatiku
Yang juga tak sekuat baja

Keputusanku, untuk melupakan
Sungguh bukan dalam arti sebenar
Namun untuk memaafkan
Dirimu, dan diri sendiri

Maaf yang terucap ini
Kukirimkan dari dalam lubuk hati
Teruntuk dirimu
Yang tengah dirundung hujan (mungkin)
Meski tak kunjung menghentikan
Semoga reda.. berganti gerimis
Lalu hilang...

Akhirnya kau katakan maaf
Mari bermuhasabah
Dan jika kita berjodoh
Tuhan akan mempertemukan, kelak

Tak perlu kau minta
Telah kumaafkan
dan kuamini
Namun wajarlah aku menduga
Aslikah ini, ataukah topeng sempat kau sesali?

Hujan ini,
tengah menanti
Kedatangan Pangerannya
Sedang sang gerimis tiba

Tiada sesiapa yang salah
Hanya perlu waktu, untuk memilih
Membesarkan gerimis menjadi hujan
atau menanti hujan yang lebih besar.



- Hujan pun menangis, 07 Juni 2012 -





Post Comment
READ MORE - Gerimis dan Hujan