Gelap, hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan
binatang buas terdengar di kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang
melata, menyeruak malam kelam. Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki
Shinta tersangkut tunggul dan akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang
lumpur hutan, tubuhnya kotor, padahal dia baru beberapa jam saja menjalani
hukuman tersebut.
Kemana dia harus pergi sekarang?
Gentar Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah
datang dari mata binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu
binatang berbahaya atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang
kecil yang melata di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.
Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali
Shinta mendesiskan mantra itu, kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani
Rama terusir empat belas tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan
baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta menyeka mata. Dia sudah berhenti
menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena sedang memastikan mahkluk apa yang
terlihat mengerikan telah menghadangnya di depan.
Itu seekor beruang raksasa.
Mengaum merobek malam.
Shinta berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha
melarikan diri.
Beruang itu mengejarnya, membuat rebah jimpa semak belukar,
pohon-pohon kecil patah. Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini
tersangkut ranting. Tidak, dia tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya
masih panjang, dia harus bisa menyelamatkan diri.
Beruang itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan,
air liurnya terpercik kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam
mencakar kesana kemari, buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali
tersungkur, kakinya tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa
berdiri lagi, nafasnya tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh,
menatap jerih beruang raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.
Persis sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari
balik pepohonan yang gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu,
dan sebelum Shinta sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap
menjemput ajal, beruang raksasa itu telah tumbang.
Adalah Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling
arif dan bijak di jaman itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair
kisah-kisah Ramayana. Malam itu, bersama belasan murid padepokannya, mereka
sedang melintas pulang dari perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian
mengerikan, seorang perempuan siap diterkam seekor beruang.
Tubuh terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu
sebuah perkampungan tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari
kayu yang berdiri di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan,
lembah hijau yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan.
Resi Walmiki
adalah pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan
melihat wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut
oleh luka, malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya
panjang lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak
remaja, pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.
Tidak ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta,
kecuali Resi Walmiki. Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang
kebijaksanaan hidup, bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk
bertahan dari binatang buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di
perkampungan itu.
Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu, Cindanita, boleh
jadi diterkam oleh beruang akan lebih baik baginya. Lihatlah, meski sekarang
dia aman secara fisik tinggal di perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka.
Setiap pagi Shinta hanya duduk termenung menatap air terjun menimpa bebatuan
menyanyikan lagu kerinduan. Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah
pengembara yang salah masuk bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu
riang saat berhasil menarik busur Dewa Siwa.
Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu, Cindanita.
Malam-malam Shinta sering menatap langit penuh bintang. Duhai, bertanya dalam
hati sedang apakah suaminya saat ini? Apakah Rama mulai merindukan dirinya?
Seperti dia yang setiap hela nafas menyebut nama suaminya? Aku akan
baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu melewati masa-masa pengusiran ini,
Shinta berbisik, lantas berharap angin lembah membawa kalimatnya tiba di
ibukota Ayodya, ribuan kilometer jauhnya.
Hari demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap
berputar. Perut Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi
kegembiraan mendengar kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan.
Seorang ibu setengah baya membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar,
laki-laki, tampan seperti Ayahnya—yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun
jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan
Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah
pembuangan itu. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua
akan kuat, Nak.
Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu
terus berputar. Meski masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air
terjun, dengan hadirnya si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia
punya kesibukan. Dan tanpa terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat
cepat, dua anak kembar itu tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas,
tidak pernah Resi Walmiki memiliki murid sepintar mereka berdua, menguasai
syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa.
Lawa dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil
itu, mereka adalah pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi
Walmiki menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata
mematikan dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan
rahasia tersendiri.
Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh
membanggakan, Cindanita?
Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa
sepuluh tahun pengusiran itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan,
apakah suaminya masih ingat istrinya yang terusir di hutan rimba? Apakah
suaminya masih merindukannya? Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan
menangis, sungguh aku tidak akan menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.
Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah,
suaminya Rama ternyata tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan
melihat Shinta berdiri termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang
padepokan, berharap rombongan pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput.
Satu derap suara langkah kaki kuda milik penghuni perkampungan pun sudah
membuat Shinta terlonjak, apakah itu? Apakah itu? Satu suara desir orang datang
sudah membuat Shinta berseru tertahan, apakah itu? Apakah itu Rama yang
menjemputnya.
Malang sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan
menjemput, datang menyibak pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan,
kabar baik secuil pun tidak datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.
“Tidurlah, anakku.” Resi Walmiki berkata takjim, “Ini sudah
lewat tengah malam, tidak baik sendirian di anak tangga.”
Shinta menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini
hingga suaminya tiba. Dia tidak mau sedang tertidur saat Rama datang
menjemputnya. Sama persis saat di taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun
lalai mengingat Rama. Dia harus terjaga, lantas tersenyum riang menyambut
suaminya.
“Tidak akan ada jemputan malam ini, anakku.” Resi Walmiki
mendesah pelan, menghela nafas panjang penuh kesedihan, “Suamimu tidak akan
datang menjemput.”
Tidak. Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati.
Menolak untuk percaya. Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai
suaminya, dan Rama akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.
Resi Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang
dipenuhi bintang gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus
menunggu di anak tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. Rama tidak
akan pernah menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan
lalu, dia sendiri yang diam-diam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi
kebanyakan, menatap wajah Rama.
Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia
segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka
Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya.
Apakah Rama masih mencintai Shinta? Tentu saja. Cinta itu sama besarnya sejak
mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan, maka
ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.
Sepuluh tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil
memadamkan api kecurigaan, prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu
semakin rusak oleh mudahnya dia percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya.
Apakah Rama tahu ini hari penghabisan masa pembuangan Shinta? Dia bahkan setiap
saat menghitung hari, tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya?
Dia bahkan setiap saat menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus
itu semua. Sia-sia Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak
menjadi matang tanpa api di bawah periuknya.
Satu hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu
tahun lebih, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya
kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok
oleh kesedihan. Kecantikan itu masih bersisa banyak, tapi pengharapan yang tak
kunjung berujung menghabisi banyak hal.
Penghuni padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus
menunggu. Dua anak kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa,
ada apa gerangan Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan
kapiran urusan, persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa
menemukan catatan milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal
Ramayana.
Dua anak kembar itu tahu.
Dua anak kembar itu tahu, Cindanita. Aduh, kapiran urusan. Kau
tahu rahasia besar yang paling mengerikan dari pusaka busur Dewa Brahma milik
si kembar: kebencian. Busur itu akan berlipat-lipat menjadi lebih hebat saat
dipegang oleh orang yang memiliki alasan kebencian yang sah, berhak, dan
direstui terbalaskan.
Apalagi yang tidak mereka miliki sekarang selain kebencian yang
menggunung? Mereka tahu, Ibu mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri
hanya karena prasangka. Tidak cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini?
Tidak cukupkah ujian api suci yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta?
Sekarang, saat masa pembuangan itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati
Ayahnya datang menjemput?
Lawa dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa
sambil menyeka air mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu
mereka. Dua anak itu, baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria
terbaik jaman itu, darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur
Dewa Brahma, yang walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah
seratus delapan puluh derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.
Hari itu juga, bagai puting beliung Lawa dan Kusa berangkat
meninggalkan padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi
satu kota kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan
kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah
kue besar. Benteng pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar
terdengar hingga ibukota Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang
menyangka kerusakan sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.
Demi mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan
kerajaan, tanpa tahu siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan
besar dipimpin Hanoman. Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka
berdua melepas satu anak panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak
panah, bagai hujan deras turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak
terbayangkan, panglima perang bangsa Rawana dikalahkan begitu mudah oleh dua
anak berusia dua belas tahun.
Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang
didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di
ibukota Ayodya, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.
Kecamuk besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang
tertutup dari kabar luar. Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi,
masih berkutat dengan kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi
Walmiki membawa kabar buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa
yang telah mereka lakukan? Kerusakan apa yang telah mereka perbuat? Seberapa
besar kebencian itu?
Shinta menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka
pergi menyusul ke ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua
sepanjang sejarah daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta
menggebah kudanya agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang
terlambat.
Sementara di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya
berbaris menunggu perintah. Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di
singgasana, busur Dewa Siwa terpasang di punggung. Ketakutan mencekam seluruh
Ayodya. Penduduk gemetar, kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas,
meskipun itu tidak mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun
hendak menonton pertempuran—tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan
apapun.
Matahari tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang
kota Ayodya. Nafas prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah
menyibak pasukan, debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa
Brahma terpentang kencang-kencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura
mengerikan keluar dari wajah mereka.
Bagaimana mungkin? Dua anak kembar ini? Masih kecil sekali,
bahkan seperti anak-anak yang bermain di sekitar rumah. Siapa mereka
sesungguhnya?
Dan yang membuat helaan nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin
tertahan, Dua anak kembar itu datang sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi
ujian milik Ibunya:
“Dusta takkan bercampur dengan jujur
Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”
Duhai, siapakah dua anak kembar ini? Apa yang mereka inginkan?
Dendam kesumat apa yang hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya? Rakyat bersitatap
satu sama lain, perasaan takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin
tahu mereka.
Rama berdiri dari singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.
Pertempuran besar itu hanya soal waktu terjadi.
Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.
“Hentikan!!” Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang
kota.
“Hentikan! Aku mohon.” Shinta berseru tersengal, kudanya
menerobos rakyat yang menonton. Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang?
Bukankah itu?
Bisik-bisik menjalar bagai api memakan rumput kering.
“Shinta? Kaukah itu?” Rama balas berseru demi melihat perempuan
yang loncat turun dari kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan
Kusa.
Demi melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari
menuruni anak tangga. Shinta, kaukah itu? Jantung Rama berdetak kencang oleh
perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya.
“Lepaskan kami Ibu!” Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa
berteriak, menghindari pelukan Ibunya.
“Jangan, Nak. Sungguh jangan.” Shinta berseru serak, masih
berusaha memeluk anak-anaknya.
“Lepaskan kami Ibu!”
“Dia Ayah kalian, Nak.”
“Tidak!” Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan,
ke arah Rama yang sedang menuruni anak tangga, berusaha mendekat.
“Dia bukan Ayah kami.” Kusa tidak kalah membentak galak,
menunjuk Rama, “Dia bukan siapa-siapa kami.”
“Jangan, Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya.” Shinta menangis,
memohon, suaranya semakin serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus
membentangkan busur.
“Kami akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum
seluruh Ayodya.”
“Shinta, Shinta istriku.” Rama sudah dekat dengan Shinta yang
akhirnya berhasil memeluk anak-anaknya.
Langkah Rama tertahan, menatap tidak mengerti, “Siapa mereka
istriku? Siapa dua anak kecil ini? Kenapa kau malah memeluknya?”
Shinta menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai
selama ini, wajah suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda,
sudah sejak tadi dia loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.
“Siapa mereka, Shinta?” Rama bertanya lagi, dia juga sama,
jikalau situasinya berbeda, sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta,
kerinduan pada istrinya sungguh tidak tertahan dua belas tahun terakhir.
“Dia anak-anakmu, Paduka Raja.” Resi Walmiki yang menjawab,
loncat dari kudanya yang baru tiba.
“Anak-anakku?” Rama berseru tertahan.
Dan lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya.
Berbisik-bisik bagai dengung lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua
kembar perusak ini anak Rama yang gagah perkasa? Apakah tidak salah dengar
mereka? Dua anak kembar mengerikan ini anak Rama yang hebat?
“Mereka sungguh anak-anakku, Shinta?” Rama bertanya, memastikan,
menatap Shinta yang masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.
Shinta mengangguk lemah.
Tidak mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin
raja mereka memiliki anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun
ke dalam hutan rimba. Bagaimana dia hamil? Tidak masuk akal. Itu pastilah
dusta. Siapa yang tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan?
Duhai, urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun
lalu itu selalu benar. Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama
tidak akan pernah berhasil memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu
juga benar, Shinta akan berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama
tidak akan pernah berhasil melalui resah hatinya.
Hanya sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat
istrinya kembali. Sejenak kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih
sisanya. Rama menggeleng, tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku.
Rakyat Ayodya bersorak, itu benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa
memiliki dua anak perusak.
Shinta tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh
Ibu, lihatlah, setelah begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah
begitu besar harapan yang dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang,
suaminya menolak percaya atas anggukan pelannya tadi.
Apalah artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan?
Semua ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya
mengulur-ngulur waktu, dan dia terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia
berharap Rama akan kembali mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.
Sebelum semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak
kembarnya untuk terakhir kali, berlinang air mata, lantas melepas pelukan,
kemudian berlari menjauh dari Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil
berseru-seru,
“Oh Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu.”
Shinta memanggil keadilan.
Resi Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang
akan dilakukan Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia.
Itulah bukti paling maksimal. Kejadian itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan
dikenang ratusan tahun kemudian.
“Oh Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu.” Shinta berlari,
kakinya tertekuk sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak
kuat lagi.
Sungguh dia masih cinta, tapi buat apa?
Bukankah cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.
Rama yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat
panik. Rama terbang dengan segala pesonanya.
Shinta tersungkur, tangannya mencabik-cabik tanah, debu mengepul
beterbangan, mulutnya lirih nian membaca mantera, Rama sudah amat dekat, dia
tak kuasa lari lagi.
“Oh Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika
anakmu ini memang ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku
kembali ke langit tanpa nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu
kembali, aku mohon. Aku sungguh tidak kuat lagi.”
“Jangan lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap,
akhirnya dia paham, melihat Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan
lakukan, Shinta, demi aku.” Tetapi kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap
melakukan prosesi pembuktian paling tinggi.
“Ibu, bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang
gila.
“Dengarkan aku, Shinta." Rama yang berlutut berusaha
menggapai tubuh istrinya.
“Ibu pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.
“Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”
“Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”
“Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.”
Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.
Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.
Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih
dulu merekah. Sempurna sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak
berpikir panjang langsung melompat.
Rama terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar,
terlambat, rekahan menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat
kepulan tinggi.
Hening. Hening.
***
Juga hening pemakaman kota ini. Malam sudah turun sejak tadi,
lampu-lampu taman pemakaman menyala, meski tidak kuasa menerangi hingga pusara
Cindanita.
Satu-dua kunang-kunang terbang di hadapanku.
Aku tersenyum sambil mengelus rambut hitam legam Cindanita, yang
tidak sabaran, menunggu kelanjutan cerita. Akan Ayah selesaikan ceritanya, Nak.
Aku mengangguk.
Kau tahu, Nak, hari itu, siang itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta guntur menggelegar, langit kelam, "Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau kululuh lantakkan tubuhmu."
Alam mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara.
Bukankah pernah Ayah bilang, Nak, busur itu bisa membelah bumi bagai tangan
orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang. Hari itu, Rama menarik busur
pusakanya. Bersiap menukar kesedihan, penyesalannya dengan binasanya seluruh dunia.
Sayangnya, Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma
yang menyimpan rahasia, busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja,
busur itu sejatinya milik Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang
diinginkan Shinta. Itulah kenapa dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena
Shinta mencintainya, dan menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah
Rama mampu mengalahkan Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh
daratan India, karena Shinta menginginkannya.
Shinta telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur
itu, tarikan Rama atas busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak
mengerti, bahkan sekarang busur itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya,
jatuh berdebam di tanah, membuat debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk,
mengais-ngais tempat rekahan yang baru saja menelan tubuh istrinya. Rama
berseru-seru, memanggil, memohon. Dia sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta
maaf. Tetapi semua sudah terlambat.
Kejadian siang itu akan dikenang banyak orang.
Beberapa minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia
memutuskan menyusul adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang
menyaksikan kalau Ibunya tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil
dibujuk Resi Walmiki kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi
mereka menghentikan berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada
tanding. Sementara rakyat Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk
bisik-bisik kotor itu.
Itulah kisah legendaris Rama dan Shinta, Cindanita. Maafkan
Ayah, Nak, kisah ini ternyata tidak berakhir bahagia.
Cindanita menatapku, berkerjap-kerjap. Aku mengangguk, ya, kau
benar Cindanita, kisah ini mirip dengan cerita Ayah dan Ibumu. Setelah dua
tahun menikah, Ibumu mengandung. Itu kau, Cindanita, membuat kebahagiaan kami
berlipat-lipat.
Tapi sayangnya, bisik-bisik itu mulai terjadi. Banyak tetangga
yang datang menjenguk Ibumu, bertanya satu-dua hal, mengetahui Ayahmu yang
bekerja sebagai pelaut, lantas entah dari mana prasangka kotor itu mulai bekerja.
Bukankah pelaut jenis pekerjaan yang mudah tergoda? Tiga bulan berlayar entah
ke kota mana, pelabuhan mana, bukankah? Bukankah?
Ayah tidak tahu sejak kapan Ibumu termakan bisik-bisik itu. Ayah
merasa semua baik-baik saja, bahkan saat menemani kau lahir Cindanita, Ayah
merasa menjadi orang paling berbahagia sedunia. Tidak dengan Ibumu, ternyata
dia berbulan-bulan menahan diri untuk bertanya apakah aku masih setia
dengannya, apakah aku tidak berselingkuh di kota lain. Dan bisul itu pecah saat
semua kerepotan datang mengurus kau, Cindanita. Ayah yang harus kembali ke
kapal, menerima hujaman pertanyaan itu.
Apa yang harus Ayah jawab? Jelaskan? Bahkan Ayah sungguh bingung
dengan prasangka itu? Bukankah kita baik-baik saja selama ini? Ibumu sebaliknya
justeru berteriak histeris, bilang tidak percaya. Situasi berubah dengan cepat
memburuk, pernikahan kami seperti kapal memasuki badai.
Tiga bulan kemudian, saat Ayah kembali lagi ke kota, Ibumu
bahkan menolak bicara. Prasangka itu semakin tebal, cinta kami dikalahan oleh
ketidakpercayaan. Tiga bulan lagi berlalu, semua tiba pada puncaknya, malam itu
Ibumu marah besar, dan dia pergi begitu saja dari rumah.
Ayah panik, Nak, kau
menangis kencang di kamar. Situasi berubah jadi menyedihkan, aku tidak becus
mengurus bayi, dan kau jatuh sakit, satu minggu berlalu, meski dibantu dokter
dan perawat, sakitmu terus memburuk, tubuhmu membiru.
Dua minggu berlalu, saat Ibumu kembali, dia hanya bisa meratap di pekuburan ini. Dia kembali saat pemakamanmu, Cindanita. Penyesalan, kebencian, entahlah, menyatu dari sorot matanya, kami tidak bicara sepatah pun malam itu, dan aku tahu, kali ini, Ibumu akan pergi tidak akan pernah kembali.
Bagaimana mungkin semua kisah bahagia itu berakhir menyedihkan?
Aku tidak pernah tahu jawabannya, Nak. Yang Ayah yakini, cinta yang besar,
tanpa disertai komitmen dan kepercayaan, maka dia hanya akan menelan diri
sendiri.
Satu kunang-kunang terbang di atas pusara Cindanita.
Sudah larut malam, Nak. Kelasi kapalku sudah menunggu di
pelabuhan, kami harus melanjutkan perjalanan. Sampai bertemu tahun depan. Ayah
janji, Ayah akan menceritakan kisah hebat dari tempat-tempat lain yang Ayah
kunjungi.
Aku mencium lembut kening Cindanita.
Selamat tidur, Nak.
***
Tamat
*versi asli Rama
Shinta tidak seperti ini*
***
Ditulis ulang dengan seijin penulis
Dari : Buku Berjuta Rasanya 2
Oleh : Tere Liye
Dari : Buku Berjuta Rasanya 2
Oleh : Tere Liye
Post Comment