WELCOME to MY BLOG

Bagi akhi & ukhti yang ingin meng-copy catatan ato artikel di blog ini, mohon cantumkan sumber setiap catatan di tersenyumlah-hati.blogspot.com demi menjaga keaslian tulisan / karya ato share dilaman networking via share tool dibawah setiap catatan...

Mari berbagi...


- Tersenyumlah -

Kamis, 29 November 2012

Percayakah kau padaku? (part III - end)


Gelap, hutan gelap menyambut langkah kaki Shinta. Lolongan binatang buas terdengar di kejauhan. Dengung suara serangga, desis binatang melata, menyeruak malam kelam. Udara terasa lembab. Gelap, berkali-kali kaki Shinta tersangkut tunggul dan akar, jatuh berdebam. Pakaiannya bergelimang lumpur hutan, tubuhnya kotor, padahal dia baru beberapa jam saja menjalani hukuman tersebut.

Kemana dia harus pergi sekarang?
Gentar Shinta menatap sekitar. Satu dua larik cahaya hanyalah datang dari mata binatang hutan, menyala terang di tengah gelap. Entah itu binatang berbahaya atau tidak. Ratusan nyamuk membungkus kepala, juga binatang kecil yang melata di tanah, tubuhnya menjadi sasaran empuk.

Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Berkali-kali Shinta mendesiskan mantra itu, kalimat sama yang dulu dia ucapkan saat menemani Rama terusir empat belas tahun, juga saat di taman Asoka. Aku akan baik-baik saja. Aku akan kuat. Shinta menyeka mata. Dia sudah berhenti menangis sejak tadi, dia menyeka mata karena sedang memastikan mahkluk apa yang terlihat mengerikan telah menghadangnya di depan.

Itu seekor beruang raksasa.
Mengaum merobek malam.
Shinta berseru pias, bergegas balik kanan, terseok-seok berusaha melarikan diri.

Beruang itu mengejarnya, membuat rebah jimpa semak belukar, pohon-pohon kecil patah. Shinta semakin panik, bajunya robek di sana sini tersangkut ranting. Tidak, dia tidak akan berakhir malam ini, masa ujiannya masih panjang, dia harus bisa menyelamatkan diri.

Beruang itu semakin dekat, dengus nafasnya terdengar menakutkan, air liurnya terpercik kemana-mana, dan jarinya dengan kuku-kuku yang tajam mencakar kesana kemari, buas mengejar tubuh ringkih Shinta yang justeru kembali tersungkur, kakinya tersangkut akar lagi, dan kali ini Shinta tidak bisa berdiri lagi, nafasnya tersengal hampir habis, Shinta terdesak sudah, menoleh, menatap jerih beruang raksasa yang siap menerkam, merobek-robek tubuhnya.

Persis sepersekian detik kuku-kuku itu menyentuh wajahnya, dari balik pepohonan yang gelap, melesat belasan panah. Cepat sekali kejadian itu, dan sebelum Shinta sempat membuka matanya yang terpejam ketakutan, bersiap menjemput ajal, beruang raksasa itu telah tumbang.

Adalah Resi Walmiki yang menyelamatkannya. Seorang Resi paling arif dan bijak di jaman itu. Resi inilah yang kelak menuliskan syair kisah-kisah Ramayana. Malam itu, bersama belasan murid padepokannya, mereka sedang melintas pulang dari perjalanan jauh, tidak sengaja berpapasan kejadian mengerikan, seorang perempuan siap diterkam seekor beruang.

Tubuh terkulai Shinta dibawa ke padepokan Resi Walmiki. Itu sebuah perkampungan tertutup, jauh di dalam hutan rimba. Ada belasan rumah dari kayu yang berdiri di dekat air terjun besar. Sawah subur mengitari perkampungan, lembah hijau yang indah. Sungai mengalir indah dipenuhi ikan-ikan.

Resi Walmiki adalah pertapa yang memiliki kemampuan melihat watak seseorang hanya dengan melihat wajahnya, maka demi melihat wajah penuh kesedihan Shinta, yang barut oleh luka, malam itu dengan bijak dia memutuskan menampungnya tanpa bertanya panjang lebar. Ada banyak keluarga yang tinggal di padepokan itu, anak-anak remaja, pria dewasa, mereka berseru senang melihat kedatangan penduduk baru.

Tidak ada penghuni padepokan yang tahu siapa sebenarnya Shinta, kecuali Resi Walmiki. Mereka adalah murid-murid sederhana yang belajar tentang kebijaksanaan hidup, bercocok tanam, dan sedikit kemampuan memanah untuk bertahan dari binatang buas. Dengan segera Shinta berusaha menyesuaikan diri di perkampungan itu.

Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu, Cindanita, boleh jadi diterkam oleh beruang akan lebih baik baginya. Lihatlah, meski sekarang dia aman secara fisik tinggal di perkampungan itu, tapi hatinya terus terluka. Setiap pagi Shinta hanya duduk termenung menatap air terjun menimpa bebatuan menyanyikan lagu kerinduan. Shinta sedang mengingat wajah suaminya, wajah pengembara yang salah masuk bangunan saat hari sayembara. Wajah yang begitu riang saat berhasil menarik busur Dewa Siwa.

Apakah nasib Shinta lebih baik? Aku tidak tahu, Cindanita. Malam-malam Shinta sering menatap langit penuh bintang. Duhai, bertanya dalam hati sedang apakah suaminya saat ini? Apakah Rama mulai merindukan dirinya? Seperti dia yang setiap hela nafas menyebut nama suaminya? Aku akan baik-baik saja, Kakanda. Aku akan mampu melewati masa-masa pengusiran ini, Shinta berbisik, lantas berharap angin lembah membawa kalimatnya tiba di ibukota Ayodya, ribuan kilometer jauhnya.

Hari demi hari berlalu, bahagia atau tidak, siklus waktu tetap berputar. Perut Shinta semakin membesar, penduduk padepokan itu diliputi kegembiraan mendengar kabar penghuni baru mereka akan segera melahirkan. Seorang ibu setengah baya membantu Shinta melahirkan, dua orang anak kembar, laki-laki, tampan seperti Ayahnya—yang sama sekali tidak tahu anaknya lahir nun jauh di tengah hutan rimba. Shinta memberi nama kedua anak kembarnya: Lawa dan Kusa. Dia dengan air mata berlinang menciumi dua bayi yang lahir di tanah pembuangan itu. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Ibumu dan kalian berdua akan kuat, Nak.

Hari demi hari berlalu lagi, bahagia atau tidak, siklus waktu terus berputar. Meski masih sering mendesahkan kerinduan sambil menatap air terjun, dengan hadirnya si kembar, suasana hati Shinta jauh lebih baik. Dia punya kesibukan. Dan tanpa terasa, bagai sebutir batu jatuh, waktu berlalu amat cepat, dua anak kembar itu tumbuh sehat. Mereka menjadi anak-anak yang cerdas, tidak pernah Resi Walmiki memiliki murid sepintar mereka berdua, menguasai syair-syair panjang kebijaksanaan orang dewasa.


Lawa dan Kusa juga tumbuh menjadi ksatria yang baik. Sekecil itu, mereka adalah pemanah terbaik di padepokan, melihat bakat hebat itu, Resi Walmiki menghadiahkan busur panah kembar dari Dewa Brahma. Itu bukan senjata mematikan dibanding busur Dewa Siwa milik Ayah mereka, tapi panah itu menyimpan rahasia tersendiri.

Apakah keadaan Shinta membaik seiring anaknya tumbuh membanggakan, Cindanita?
Sebaliknya, Shinta kembali termenung, menyendiri saat masa sepuluh tahun pengusiran itu hampir berakhir. Dia mulai sibuk memikirkan, apakah suaminya masih ingat istrinya yang terusir di hutan rimba? Apakah suaminya masih merindukannya? Shinta menyeka ujung mata, dia tidak akan menangis, sungguh aku tidak akan menangis, oh Ibu, itu janjinya dulu.

Tetapi saat masa pengusiran itu benar-benar habis, lihatlah, suaminya Rama ternyata tidak kunjung menjemputnya. Duhai, amat menyedihkan melihat Shinta berdiri termangu sepanjang hari, menatap pintu gerbang padepokan, berharap rombongan pasukan dari ibukota Ayodya datang menjemput. Satu derap suara langkah kaki kuda milik penghuni perkampungan pun sudah membuat Shinta terlonjak, apakah itu? Apakah itu? Satu suara desir orang datang sudah membuat Shinta berseru tertahan, apakah itu? Apakah itu Rama yang menjemputnya.

Malang sekali nasib Shinta, jangankan rombongan yang akan menjemput, datang menyibak pepohonan rapat yang mengelilingi perkampungan, kabar baik secuil pun tidak datang dari ibukota Ayodya. Tidak ada.

“Tidurlah, anakku.” Resi Walmiki berkata takjim, “Ini sudah lewat tengah malam, tidak baik sendirian di anak tangga.”

Shinta menggeleng kuat-kuat. Tidak, dia akan berdiri di sini hingga suaminya tiba. Dia tidak mau sedang tertidur saat Rama datang menjemputnya. Sama persis saat di taman Asoka dulu, dia tidak mau sedetikpun lalai mengingat Rama. Dia harus terjaga, lantas tersenyum riang menyambut suaminya.

“Tidak akan ada jemputan malam ini, anakku.” Resi Walmiki mendesah pelan, menghela nafas panjang penuh kesedihan, “Suamimu tidak akan datang menjemput.”
Tidak. Itu sungguh tidak benar. Shinta menjerit dalam hati. Menolak untuk percaya. Mereka sepasang kekasih abadi, dia akan selalu mencintai suaminya, dan Rama akan selalu mencintainya. Resi Walmiki berdusta.

Resi Walmiki menghela nafas panjang lagi. Menatap langit yang dipenuhi bintang gemintang. Baiklah, dia mengalah, membiarkan Shinta terus menunggu di anak tangga, menatap kegelapan gerbang perkampungan. Rama tidak akan pernah menjemput istrinya, Resi Walmiki tahu hal itu, karena beberapa bulan lalu, dia sendiri yang diam-diam datang ke istana Ayodya, menyamar seperti resi kebanyakan, menatap wajah Rama.

Hanya butuh sekejap saling bersitatap, dia segera tahu, Paduka Raja yang gagah perkasa itu, amat ringkih hatinya. Paduka Raja yang berhasil mengalahkan Rahwana, raja raksasa, itu, amat lapuk hatinya. Apakah Rama masih mencintai Shinta? Tentu saja. Cinta itu sama besarnya sejak mereka pertama kali bertemu dulu. Tetapi cinta tanpa disertai kepercayaan, maka ibarat meja kehilangan tiga dari empat kaki-kakinya, runtuh menyakitkan.

Sepuluh tahun berlalu, Rama tidak pernah kunjung berhasil memadamkan api kecurigaan, prasangka buruk pada istrinya sendiri, dan itu semakin rusak oleh mudahnya dia percaya bisik-bisik kotor orang di sekitarnya. Apakah Rama tahu ini hari penghabisan masa pembuangan Shinta? Dia bahkan setiap saat menghitung hari, tidak sabaran. Apakah Rama masih rindu kepada istrinya? Dia bahkan setiap saat menyebut nama istrinya. Tetapi resah, curiga, menghapus itu semua. Sia-sia Shinta menunggu suaminya datang, bagai menunggu nasi tanak menjadi matang tanpa api di bawah periuknya.

Satu hari berlalu. Satu minggu. Satu bulan, bahkan sekarang satu tahun lebih, Shinta mulai menatap putus asa gerbang perkampungan. Tubuhnya kurus kering, dia menolak makan. Wajahnya pucat, dan rambutnya mulai rontok oleh kesedihan. Kecantikan itu masih bersisa banyak, tapi pengharapan yang tak kunjung berujung menghabisi banyak hal.

Penghuni padepokan juga ikut sedih menyaksikan Shinta yang terus menunggu. Dua anak kembarnya yang setahun terakhir terus bertanya-tanya kenapa, ada apa gerangan Ibunya terlihat sedih berkepanjangan, juga ikut sedih. Dan kapiran urusan, persis usia mereka menginjak dua belas tahun, Lawa dan Kusa menemukan catatan milik Resi Walmiki, syair tentang Rama dan Shinta, kisah awal Ramayana.

Dua anak kembar itu tahu.
Dua anak kembar itu tahu, Cindanita. Aduh, kapiran urusan. Kau tahu rahasia besar yang paling mengerikan dari pusaka busur Dewa Brahma milik si kembar: kebencian. Busur itu akan berlipat-lipat menjadi lebih hebat saat dipegang oleh orang yang memiliki alasan kebencian yang sah, berhak, dan direstui terbalaskan.

Apalagi yang tidak mereka miliki sekarang selain kebencian yang menggunung? Mereka tahu, Ibu mereka dibuang sepuluh tahun oleh Ayahnya sendiri hanya karena prasangka. Tidak cukupkah semua pengorbanan Ibunya selama ini? Tidak cukupkah ujian api suci yang bahkan bisa membakar seorang dewa pendusta? Sekarang, saat masa pembuangan itu telah berlalu, tidak tergerakkah hati Ayahnya datang menjemput?

Lawa dan Kusa menggenggam tangan satu sama lain. Lawa dan Kusa sambil menyeka air mata, bersumpah membalas perlakuan Ayahnya terhadap Ibu mereka. Dua anak itu, baru dua belas tahun, tapi mereka mewarisi darah ksatria terbaik jaman itu, darah Ayah yang amat mereka benci. Dan mereka memiliki busur Dewa Brahma, yang walaupun diciptakan oleh dewa penjaga ketertiban, berubah seratus delapan puluh derajat merusaknya saat digunakan dengan kebencian.

Hari itu juga, bagai puting beliung Lawa dan Kusa berangkat meninggalkan padepokan tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka menyerbu satu demi satu kota kerajaan Kosala. Mereka menghukum semuanya, menghancur leburkan kerajaan Kosala bagai dua anak yang sedang meremas sedikit demi sedikit sebuah kue besar. Benteng pertahanan kerajaan Kosala berjatuhan, keributan besar terdengar hingga ibukota Ayodya. Dua anak kembar itu mengamuk. Tidak ada yang menyangka kerusakan sebesar itu bisa dilakukan oleh mereka.

Demi mendengar terbetik kabar peperangan besar di perbatasan kerajaan, tanpa tahu siapa si kembar itu, Rama memutuskan mengirim pasukan besar dipimpin Hanoman. Sia-sia, Lawa dan Kusa bukan tandingan Hanoman. Mereka berdua melepas satu anak panah yang seketika terpecah belah menjadi jutaan anak panah, bagai hujan deras turun dari langit menerpa pasukan Hanoman, tidak terbayangkan, panglima perang bangsa Rawana dikalahkan begitu mudah oleh dua anak berusia dua belas tahun.

Rama berseru marah. Itu sungguh kabar paling gila yang didengarnya. Dia memerintahkan seluruh pasukan kerajaan Kosala berkumpul di ibukota Ayodya, bersiap menerima serbuan dua anak kembar itu.

Kecamuk besar kerajaan Kosala akhirnya tiba di padepokan yang tertutup dari kabar luar. Shinta yang bahkan tidak menyadari dua anaknya pergi, masih berkutat dengan kesedihan menunggu suaminya, berseru panik saat Resi Walmiki membawa kabar buruk itu. Oh Ibu, anakku, anak-anakku Lawa dan Kusa, apa yang telah mereka lakukan? Kerusakan apa yang telah mereka perbuat? Seberapa besar kebencian itu?

Shinta menaiki seekor kuda, ditemani oleh Resi Walmiki, mereka pergi menyusul ke ibukota, mereka harus mencegah pertempuran besar kedua sepanjang sejarah daratan India sejak duel melawan Rahwana itu terjadi. Shinta menggebah kudanya agar bergerak lebih kencang, dia tidak boleh datang terlambat.

Sementara di halaman istana, ratusan ribuan prajurit Ayodya berbaris menunggu perintah. Raja mereka yang gagah perkasa, Rama, berdiri di singgasana, busur Dewa Siwa terpasang di punggung. Ketakutan mencekam seluruh Ayodya. Penduduk gemetar, kabar tentang kehebatan dua anak itu membuat cemas, meskipun itu tidak mengurungkan mereka pergi ke halaman istana, berduyun-duyun hendak menonton pertempuran—tabiat lama orang-orang Ayodya, ingin tahu urusan apapun.

Matahari tiba di puncaknya saat Lawa dan Kusa memasuki gerbang kota Ayodya. Nafas prajurit dan rakyat jelata tertahan. Lawa dan Kusa melangkah menyibak pasukan, debu mengepul dari bawah kaki mereka. Busur hadiah Dewa Brahma terpentang kencang-kencang dengan anak panah mengacung ke depan. Aura mengerikan keluar dari wajah mereka.

Bagaimana mungkin? Dua anak kembar ini? Masih kecil sekali, bahkan seperti anak-anak yang bermain di sekitar rumah. Siapa mereka sesungguhnya?

Dan yang membuat helaan nafas prajurit dan penduduk Ayodya semakin tertahan, Dua anak kembar itu datang sambil menyanyikan lagu itu, lagu prosesi ujian milik Ibunya:

“Dusta takkan bercampur dengan jujur
Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”

Duhai, siapakah dua anak kembar ini? Apa yang mereka inginkan? Dendam kesumat apa yang hendak mereka balaskan ke seluruh Ayodya? Rakyat bersitatap satu sama lain, perasaan takut tetap dikalahkan oleh tabiat bisik-bisik ingin tahu mereka.

Rama berdiri dari singgasananya. Menyiapkan busur dan anak panah miliknya. Pertempuran besar ini tidak bisa dielakkan, musuh tidak memberikan kesempatan negosiasi, dua anak kecil di halaman istana justeru datang dengan senjata teracung sempurna.

Pertempuran besar itu hanya soal waktu terjadi.
Ketegangan menyelimuti kota Ayodya.

“Hentikan!!” Suara teriakan perempuan terdengar dari gerbang kota.
“Hentikan! Aku mohon.” Shinta berseru tersengal, kudanya menerobos rakyat yang menonton. Wajah-wajah tertoleh. Siapa lagi yang datang? Bukankah itu?
Bisik-bisik menjalar bagai api memakan rumput kering.

“Shinta? Kaukah itu?” Rama balas berseru demi melihat perempuan yang loncat turun dari kuda di halaman istana, lantas berusaha memeluk Lawa dan Kusa.

Demi melihatnya, Rama bergegas menurunkan busur, berlari menuruni anak tangga. Shinta, kaukah itu? Jantung Rama berdetak kencang oleh perasaan bahagia. Dia sungguh rindu pada istrinya.

“Lepaskan kami Ibu!” Sementara di halaman istana, Lawa dan Kusa berteriak, menghindari pelukan Ibunya.
“Jangan, Nak. Sungguh jangan.” Shinta berseru serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya.

“Lepaskan kami Ibu!”
“Dia Ayah kalian, Nak.”
“Tidak!” Lawa membentak, meski bentakan itu diarahkan ke depan, ke arah Rama yang sedang menuruni anak tangga, berusaha mendekat.
“Dia bukan Ayah kami.” Kusa tidak kalah membentak galak, menunjuk Rama, “Dia bukan siapa-siapa kami.”

“Jangan, Nak. Demi Ibumu, hentikan semuanya.” Shinta menangis, memohon, suaranya semakin serak, masih berusaha memeluk anak-anaknya yang terus membentangkan busur.
“Kami akan membalaskan sakit hati Ibu. Kami akan menghukum seluruh Ayodya.”
“Shinta, Shinta istriku.” Rama sudah dekat dengan Shinta yang akhirnya berhasil memeluk anak-anaknya.

Langkah Rama tertahan, menatap tidak mengerti, “Siapa mereka istriku? Siapa dua anak kecil ini? Kenapa kau malah memeluknya?”

Shinta menangis, mendongak, menatap wajah orang yang dia cintai selama ini, wajah suaminya. Shinta tergugu. Duhai, jika situasinya berbeda, sudah sejak tadi dia loncat memeluk Rama, kerinduan itu sungguh tidak tertahan.

“Siapa mereka, Shinta?” Rama bertanya lagi, dia juga sama, jikalau situasinya berbeda, sudah sejak tadi juga dia akan memeluk Shinta, kerinduan pada istrinya sungguh tidak tertahan dua belas tahun terakhir.

“Dia anak-anakmu, Paduka Raja.” Resi Walmiki yang menjawab, loncat dari kudanya yang baru tiba.
“Anak-anakku?” Rama berseru tertahan.

Dan lebih tidak tertahan lagi seruan rakyat Ayodya. Berbisik-bisik bagai dengung lebah memenuhi langit-langit halaman istana. Dua kembar perusak ini anak Rama yang gagah perkasa? Apakah tidak salah dengar mereka? Dua anak kembar mengerikan ini anak Rama yang hebat?

“Mereka sungguh anak-anakku, Shinta?” Rama bertanya, memastikan, menatap Shinta yang masih berlinang air mata memeluk Lawa dan Kusa.
Shinta mengangguk lemah.

Tidak mungkin. Rakyat Ayodya berbisik-bisik. Bagaimana mungkin raja mereka memiliki anak kalau istrinya yang ternoda itu dibuang belasan tahun ke dalam hutan rimba. Bagaimana dia hamil? Tidak masuk akal. Itu pastilah dusta. Siapa yang tahu istri raja tetap setia selama di pembuangan?

Duhai, urusan ini, kalimat Laksmana, adik Rama, belasan tahun lalu itu selalu benar. Shinta akan berhasil memadamkan api suci, tapi Rama tidak akan pernah berhasil memadamkan resah di hatinya. Kalimat Hanoman dulu juga benar, Shinta akan berhasil melalui masa-masa pembuangannya, tapi Rama tidak akan pernah berhasil melalui resah hatinya.

Hanya sejenak saja buncah kebahagiaan di hati Rama melihat istrinya kembali. Sejenak kemudian, prasangka, kecurigaan itu mengambil alih sisanya. Rama menggeleng, tidak mungkin, tidak mungkin, mereka bukan anakku. Rakyat Ayodya bersorak, itu benar, tidak mungkin Raja yang gagah perkasa memiliki dua anak perusak.

Shinta tertunduk, nafasnya tersengal, dia menangis tersedu. Oh Ibu, lihatlah, setelah begitu banyak pengorbanan yang dia lakukan, setelah begitu besar harapan yang dia bangun, siang ini, disaksikan ribuan orang, suaminya menolak percaya atas anggukan pelannya tadi.
Apalah artinya cinta jika tanpa sebuah kepercayaan?

Semua ini tidak akan pernah berakhir. Semua ini hanya mengulur-ngulur waktu, dan dia terjebak atas harapan kosong. Sia-sia saja dia berharap Rama akan kembali mencintainya seperti dulu. Tidak ada lagi cinta itu.

Sebelum semua orang menyadarinya, Shinta menciumi dua anak kembarnya untuk terakhir kali, berlinang air mata, lantas melepas pelukan, kemudian berlari menjauh dari Rama, dari kerumunan orang-orang, sambil berseru-seru,

“Oh Ibu, oh ibu pertiwi, dengarkan anakmu. Dengarkan anakmu.” Shinta memanggil keadilan.

Resi Walmiki yang bijak menelan ludah. Dia tahu sekali apa yang akan dilakukan Shinta. Itulah ujian terbesar yang bisa dilakukan manusia. Itulah bukti paling maksimal. Kejadian itu, kejadian siang itu dibekukan oleh syair yang akan dikenang ratusan tahun kemudian.

“Oh Ibu, belahlah tanahmu, belahlah perutmu.” Shinta berlari, kakinya tertekuk sudah, tapi dia tak peduli, Shinta tersungkur, kakinya tak kuat lagi.

Sungguh dia masih cinta, tapi buat apa?
Bukankah cinta tak pernah dibungkus ketidakpercayaan.
Rama yang menyadari apa yang hendak dilakukan Shinta loncat panik. Rama terbang dengan segala pesonanya.

Shinta tersungkur, tangannya mencabik-cabik tanah, debu mengepul beterbangan, mulutnya lirih nian membaca mantera, Rama sudah amat dekat, dia tak kuasa lari lagi.

“Oh Ibu, bukalah pintumu, buktikanlah ke seluruh semesta, jika anakmu ini memang ternoda, maka tolaklah diriku yang hina, lemparkan aku kembali ke langit tanpa nyawa. Tapi jika aku memang suci, terimalah anakmu kembali, aku mohon. Aku sungguh tidak kuat lagi.”

“Jangan lakukan,” Rama berlutut di depan Shinta, sekejap, akhirnya dia paham, melihat Shinta yang siap melakukan pengorbanan itu, “Jangan lakukan, Shinta, demi aku.” Tetapi kesadaran itu sudah amat terlambat, Shinta bersiap melakukan prosesi pembuktian paling tinggi.

“Ibu, bukalah pintumu….” Shinta memukul tanah seperti orang gila.
“Dengarkan aku, Shinta." Rama yang berlutut berusaha menggapai tubuh istrinya.
“Ibu pertiwi, aku mohon.…” Shinta merangkak menjauh.
“Maafkan aku. Maafkan aku yang tidak mempercayaimu.”
“Ibu, aku mohon. Aku tidak tahan lagi.”
“Kembalilah padaku, Shinta. Demi anak-anak kita.”
Tangan Rama berusaha menggapai rambut beruban Shinta yang sekarang kotor oleh debu.

Sejengkal lagi tangan itu berhasil menahan Shinta. Bumi lebih dulu merekah. Sempurna sudah, terbelah dua. Shinta berurai air-mata, tak berpikir panjang langsung melompat.
Rama terkesiap, tangannya menggapai kosong. Hendak mengejar, terlambat, rekahan menganga itu kembali merapat dalam sekejap. Berdebum membuat kepulan tinggi.
Hening. Hening.

***

Juga hening pemakaman kota ini. Malam sudah turun sejak tadi, lampu-lampu taman pemakaman menyala, meski tidak kuasa menerangi hingga pusara Cindanita.
Satu-dua kunang-kunang terbang di hadapanku.

Aku tersenyum sambil mengelus rambut hitam legam Cindanita, yang tidak sabaran, menunggu kelanjutan cerita. Akan Ayah selesaikan ceritanya, Nak. Aku mengangguk.

Kau tahu, Nak, hari itu, siang itu, Rama berdiri gagah, menarik busur pusakanya, hadiah Dewa Siwa. Sejuta guntur menggelegar, langit kelam, "Wahai ibu pertiwi, keluarkan Shintaku, atau kululuh lantakkan tubuhmu."

Alam mencicit. Busur itu menyebar aroma kedahsyatan tiada tara. Bukankah pernah Ayah bilang, Nak, busur itu bisa membelah bumi bagai tangan orang dewasa merekahkan sebutir jeruk matang. Hari itu, Rama menarik busur pusakanya. Bersiap menukar kesedihan, penyesalannya dengan binasanya seluruh dunia.

Sayangnya, Rama tidak pernah tahu, sebagaimana busur Dewa Brahma yang menyimpan rahasia, busur Dewa Siwa juga menyimpan rahasia. Kecil saja, busur itu sejatinya milik Shinta, dan hanya bisa ditarik oleh orang yang diinginkan Shinta. Itulah kenapa dulu Rama memenangkan sayembara itu. Karena Shinta mencintainya, dan menginginkannya menjadi suaminya. Dengan busur itulah Rama mampu mengalahkan Rahwana, membuat kerajaan Kosala disegani seluruh daratan India, karena Shinta menginginkannya.

Shinta telah ditelan bumi. Tidak ada lagi yang merestui busur itu, tarikan Rama atas busur mengendur, dan dengan wajah bingung tidak mengerti, bahkan sekarang busur itu sama sekali tidak bisa diangkat olehnya, jatuh berdebam di tanah, membuat debu berterbangan. Rama ikut jatuh terduduk, mengais-ngais tempat rekahan yang baru saja menelan tubuh istrinya. Rama berseru-seru, memanggil, memohon. Dia sungguh menyesal. Dia sungguh ingin minta maaf. Tetapi semua sudah terlambat.

Kejadian siang itu akan dikenang banyak orang.
Beberapa minggu kemudian, Rama meninggalkan tahta Ayodya, dia memutuskan menyusul adiknya Laksmana menjadi pertapa. Lawa dan Kusa yang menyaksikan kalau Ibunya tetap mencintai Rama hingga detik terakhir, berhasil dibujuk Resi Walmiki kembali ke padepokan. Mereka tetap membenci Ayahnya, tapi mereka menghentikan berbuat kerusakan. Besok lusa, mereka menjadi ksatria tiada tanding. Sementara rakyat Ayodya? Mereka tetap sibuk dengan tabiat buruk bisik-bisik kotor itu.

Itulah kisah legendaris Rama dan Shinta, Cindanita. Maafkan Ayah, Nak, kisah ini ternyata tidak berakhir bahagia.

Cindanita menatapku, berkerjap-kerjap. Aku mengangguk, ya, kau benar Cindanita, kisah ini mirip dengan cerita Ayah dan Ibumu. Setelah dua tahun menikah, Ibumu mengandung. Itu kau, Cindanita, membuat kebahagiaan kami berlipat-lipat.

Tapi sayangnya, bisik-bisik itu mulai terjadi. Banyak tetangga yang datang menjenguk Ibumu, bertanya satu-dua hal, mengetahui Ayahmu yang bekerja sebagai pelaut, lantas entah dari mana prasangka kotor itu mulai bekerja. Bukankah pelaut jenis pekerjaan yang mudah tergoda? Tiga bulan berlayar entah ke kota mana, pelabuhan mana, bukankah? Bukankah?

Ayah tidak tahu sejak kapan Ibumu termakan bisik-bisik itu. Ayah merasa semua baik-baik saja, bahkan saat menemani kau lahir Cindanita, Ayah merasa menjadi orang paling berbahagia sedunia. Tidak dengan Ibumu, ternyata dia berbulan-bulan menahan diri untuk bertanya apakah aku masih setia dengannya, apakah aku tidak berselingkuh di kota lain. Dan bisul itu pecah saat semua kerepotan datang mengurus kau, Cindanita. Ayah yang harus kembali ke kapal, menerima hujaman pertanyaan itu.

Apa yang harus Ayah jawab? Jelaskan? Bahkan Ayah sungguh bingung dengan prasangka itu? Bukankah kita baik-baik saja selama ini? Ibumu sebaliknya justeru berteriak histeris, bilang tidak percaya. Situasi berubah dengan cepat memburuk, pernikahan kami seperti kapal memasuki badai.

Tiga bulan kemudian, saat Ayah kembali lagi ke kota, Ibumu bahkan menolak bicara. Prasangka itu semakin tebal, cinta kami dikalahan oleh ketidakpercayaan. Tiga bulan lagi berlalu, semua tiba pada puncaknya, malam itu Ibumu marah besar, dan dia pergi begitu saja dari rumah.

Ayah panik, Nak, kau menangis kencang di kamar. Situasi berubah jadi menyedihkan, aku tidak becus mengurus bayi, dan kau jatuh sakit, satu minggu berlalu, meski dibantu dokter dan perawat, sakitmu terus memburuk, tubuhmu membiru.

Dua minggu berlalu, saat Ibumu kembali, dia hanya bisa meratap di pekuburan ini. Dia kembali saat pemakamanmu, Cindanita. Penyesalan, kebencian, entahlah, menyatu dari sorot matanya, kami tidak bicara sepatah pun malam itu, dan aku tahu, kali ini, Ibumu akan pergi tidak akan pernah kembali.

Bagaimana mungkin semua kisah bahagia itu berakhir menyedihkan? Aku tidak pernah tahu jawabannya, Nak. Yang Ayah yakini, cinta yang besar, tanpa disertai komitmen dan kepercayaan, maka dia hanya akan menelan diri sendiri.

Satu kunang-kunang terbang di atas pusara Cindanita.
Sudah larut malam, Nak. Kelasi kapalku sudah menunggu di pelabuhan, kami harus melanjutkan perjalanan. Sampai bertemu tahun depan. Ayah janji, Ayah akan menceritakan kisah hebat dari tempat-tempat lain yang Ayah kunjungi.

Aku mencium lembut kening Cindanita.
Selamat tidur, Nak.

***
Tamat
*versi asli Rama Shinta tidak seperti ini*
***

Ditulis ulang dengan seijin penulis
Dari : Buku Berjuta Rasanya 2
Oleh : Tere Liye




Post Comment