Semoga bermanfaat...
AKU TAK PANTAS BERJILBAB
by : Mutiara Hikmah
Langit malam semakin pekat. Angin bertiup menggoyangkan dedaunan, angin barat. Rembulan yang setengah, bintang yang bergelayut. Seorang wanita duduk termenung. Seperti sedang meratapi nasib dan takdir. Ada apa dibalik semua cerita, aturan, dan kisah yang tak pernah bertutur sapa. Sesekali langit tersenyum. Sesekali ada hati yang menyesali keadaan. Atau, ada rasa yang tak bisa menerima atas kewajiban yang diharuskan oleh sang Pencipta. Ah, dunia.
Aku tak pantas mengenakan jilbab! Begitu pekik hatinya. Lebar, terjulur, melambai dan indah. Indah katamu? Atau kata kalian? Ataukah itu hanyalah sebuah klise semata. Untuk menyenangkan hati yang merasa harus ridha atas apapun. Adilkah demikian. Jilbab? Lembaran kain yang berwarna-warni menjadi sebuah pertanda atas sebuah perbedaan. Kasta, mungkin. Atau sebuah derajat kedudukan. Iya bisa jadi bukan?
Lantas untuk apa berjilbab? Iya, untuk apa Aku berjilbab. Bagi mereka yang berjilbab, Aku bukanlah wanita yang pantas mengenakan jilbab. Jangankan jilbab lebar yang menjulur menutupi dada, jilbab yang berpilit dileher saja Aku jauh dari pantas. Bukankah pakaian itu hanya untuk mereka yang muslimah? Wanita yang ridha atas apapun takdir dari langit. Wanita yang ikhlas menerima semuanya tanpa pernah berani bertanya. Melawan, ataupun membantah semua aturan main. Sering kali Aku bertanya, aturan main dari siapa? Atau, ketetapan siapa, yang merasa berhak mengatakan bahwa jilbab hanyalah milik mereka yang merasa diri muslimah. Merasa diri suci, suci dari aib.
Sungguh, Aku sangat tak pantas berjilbab. Jikalau memang begitu yang digariskan. Aku masih bertanya, siapa yang menggariskan ketetapan itu. Mereka, atau tuhan? Aku menyembah tuhan bukan menyembah mereka. Lantas kenapa mereka mengatakan bahwa Aku tak pantas mengenakan jilbab. Apa Aku benar-benar tak berhak? Aku ini wanita yang tak bisa menjaga kesucian hatinya. Tak bisa merawat kesucian kulit ari ini dari sentuhan para kaum adam. Aku tak pernah bisa...
Berulangkali Aku mengatakan bahwa bisakah suatu saat Aku menutupi semuanya? Dengan jilbab, dengan baju gamis. Dengan kaiin yang menutupi rambut dan dadaku. Mereka bilang, Aku sudah tak pantas lagi mengenakan jilbab. Dengan semua yang telah Aku lakukan bertahun-tahun. Dengan semuanya dosa yang mungkin saja tidak pernah terampuni. Ya, itu pendapat yang sering Aku terima. Dari mereka yang setiap kali Aku bertanya tentang Islam dan kewajiban berjilbab. Mereka katakan, jilbab hanya untuk wanita yang suci. Suci hatinya, suci tubuhnya... Aduhai, lantas bagaimana nasibku kelak.
Hari ini, Aku sudah berumur. Aku memang harus akui itu. Umur yang sudah tak lagi dikatakan muda. Shalatku masih terbata-bata. Makhrajul hurufku pun bernasib sama. Cemoohan masih terdengar merdu disetiap kali Aku menginjakkan kaki di ruang-ruang pengajian. Mata-mata yang penuh selidik selalu menyertaiku. Ah, Aku ternyata kini bisa menerima ketetapan. Mungkinkah?
Jilbab, adalah sebuah kewajiban. Tidak bagi mereka yang suci ataupun yang terhina. Tetaplah sebuah kewajiban bagi mereka kaum hawa. Tidak muda, tidak tua, tidak ternoda, ataupun penzina. Jilbab tetaplah jilbab. Kewajiban wanita Islam. Yang beragama Islam. Yang Islam terdengar olehnya. Tidak pernah ada jaminan, mereka yang terlahir suci menjadi suci sampai tua. Begitupun tidak ada yang bisa menebak, mereka yang lahir dari perzinahan akan terus berkubang zina.
Berjilbab, sebuah proses yang indah. Paling tidak begitulah yang Aku pahami. Sebuah proses penyucian jiwa dan raga. Menjaga ketulusan dalam hidup. Lalu memberi dengan penuh keikhlasan terhadap yang hak. Keindahan tubuhku memang sebuah anugerah dari mahakuasa. Sekaligus sebuah amanah yang ternyata ada aturan mainnya. Keindahan tidaklah diberikan serta-merta tanpa ada hak dan kewajiban atasnya. Mungkin, dari sana Aku bisa berangkat untuk memahami mengapa jilbab harus dikenakan. Tidak ada lagi yang terkotori jiwanya. Tidak ada lagi nafsu yang terungkit karena kehadiranky. Apa karena aku sudah tua? Ah, tidak juga. Nafsu itu tidak pernah memandang usia. Nafsu tetap nafsu.
Biarlah mereka mengatakan Aku tak pantas berjilbab, biarkan saja. Aku memang buta dan tak paham Islam. Tapi bagiku, firman tuhanku adalah benar. Aku pernah mendengar kisah seorang wanita pelacur masuk syurga karena keikhlasannya. Lalu Aku juga pernah mendengar sebuah lantunan yang selalu membuatku kembali menata semuanya. Masa lalu yang hitam bukanlah sebuah penyesalan dan terus menerus ditangisi. Masa depan yang penuh harapan masih terbentang. Dengan maut sebagai deadline-nya.
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Furqaan : 68 :70).
Sederhana, sebuah seruan sederhana. Aku sudah terhina selama hidup. Tidak shalat, tidak berjilbab, apalagi mengaji. Aku sibuk mengejar karier. Entah bagaimana lagi Aku menulis semuanya. Yang pasti, kini Aku lelah terhina. Lelah. Aku ingin menutup semua lembaran cerita. Biarkan saja, semua mengatakan tidak pantas. Biarlah kesucian itu dinilai oleh Allah. Lalu terwujud dalam sikap dan perbuatan. Haruskah menghujat dan menghakimi, tanpa pernah berbuat yang terbaik? Lihat saja akhir cerita. Begitulah takdir menuntun. Biar Allah saja yang menilaiku pantas... ***
Saudariku, percayalah...!!!
Kecantikanmu takkan pudar hanya karena jilbab yang berkibar.
Keseksian tubuhmu takkan surut hanya karena kamu berjilbab.
Kemulusan dan keputihan kulitmu akan lebih terjaga karena jilbab.
Dan cinta seorang hamba terhadapmu takkan mungkin terhalang oleh ribuan helai kain jilbab
Saat cinta berlabuh, disanalah tangan Allah berperan... (^_^)