Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
“Cinta laki-laki seumpama
gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya) rentan, sewaktu-waktu ia bisa
saja meletus memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Cinta
perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tapi tumbuh perlahan-lahan,
diam-diam dan terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia tumbuh dan tumbuh
lagi.”
Perumpamaan di atas terilhami melalui sebuah
dialog dalam adegan film “Bulan Tertusuk Ilalang” karya Garin Nugroho. Betapa
menakjubkan. Dan kalimat itu mengingatkan saya pada kenangan tentang sahabat
saya dan mamanya ketika masa-masa SMP-SMU dulu.
Kala itu, nyaris setiap hari saya main ke
rumahnya yang jauh di selatan kota. Saya tahu dia anak orang kaya. Papanya,
pimpinan sebuah instansi pemerintah terkemuka di kota saya dan mamanya adalah
ibu rumah tangga biasa. Saya tak heran mendapati barang-barang bagus dan
bermerk di rumahnya yang masih dalam tahap renovasi. Sofa yang empuk, televisi
yang besar. Saya hanya bisa berdecak kagum sekaligus iri.
Tapi, lama-lama saya menyadari bahwa isi rumah
itu makin kosong dari hari ke hari. Perabotan yang satu per satu lenyap dan
televisi yang ‘mengkerut’ dari 29 inchi ke 14 inchi.
Perubahan paling mencolok adalah wajah mama
sahabat saya. Suatu saat ketika ia berbicara, tak sengaja saya dapati suatu
kenyataan bahwa mama sahabat saya itu kini ompong! Kira-kira 2-3 gigi depannya
hilang entah kemana.
Saya tak berani –lebih tepatnya tak tega – untuk
bertanya. Saya juga tak mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan sendiri. Yang
jelas, sebuah suara, jauh di lubuk hati saya bergema : “Sesuatu yang buruk
telah terjadi di rumah itu!”
Benarlah, tanpa diminta akhirnya sahabat saya
datang berkunjung ke rumah saya. Setengah berbisik, ia bercerita bahwa papanya
selingkuh dengan perempuan lain dan karenanya, nyaris tak pernah pulang ke
rumah. Dan ini bukan main-main, perempuan itu hamil dan menuntut pertanggung
jawaban papanya.
Dengan emosi ia bercerita bahwa papanya
mengajaknya ke rumah perempuan itu dan meminta sahabat saya untuk memanggilnya
dengan sebutan “Mama”.
Sebuah permintaan menyakitkan yang langsung
ditolak mentah-mentah oleh sahabat saya. “Mamaku cuma satu” tangkisnya tegar
saat itu. Dan misteri tentang gigi mamanya yang tiba-tiba ompong, barang-barang
mewah dan perabot yang satu per satu menghilang dari rumahnya pun terkuak
sudah. Semuanya adalah akibat ulah papanya jua.
Dan setengah frustasi ia mengadu pada saya bahwa
ia harus menanggung semua beban berat itu sendirian karena kakak satu-satunya
yang kuliah di luar kota tak peduli dan tak mau memikirkan masalah itu. Mamanya
pun –yang lemah lembut— tak bisa berbuat banyak dengan kelakuan suaminya. Ia
cuma bisa pasrah, gigi yang ompong itu buktinya. Dan saya? Hanya doa dan
motivasi yang bisa saya berikan agar sahabat saya itu tabah dan tak putus
berdoa.
Toh sekarang, setelah lama peristiwa itu
berlalu, doa sahabat saya pun dijawab oleh Tuhan. Ketika itu menjelang
kelulusan SMU, ia bercerita pada saya bahwa papanya sudah ‘sembuh’, bertobat,
dan kembali ke pangkuan istri dan anak-anaknya.
Nasib the other women itu entah bagaimana.
Sampai di sini persoalan beres. Dan saya takjub mendengarnya, senang sekaligus
heran.
Bagaimana mungkin masalah pelik ini bisa selesai
semudah itu? Nurani keadilan saya berontak. Saya tak habis pikir, betapa
mudahnya mama sahabat saya itu memaafkan dan menerima kembali suaminya setelah
semua yang dilakukannya. Lelaki itu tak cuma berkhianat, tapi juga menyakiti
fisiknya, merontokkan gigi-gigi depannya, tak menafkahi anak-anaknya dan nyaris
mengosongkan isi rumahnya. Dan ia memaafkannya begitu saja.
Sebuah kenyataan yang ternyata banyak juga saya
temui di masyarakat kita. Perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga yang
bisa diselesaikan dengan mudah, hanya dengan kata maaf. Mungkin inilah yang
disebut orang sebagai “CINTA”!
Papa sahabat saya adalah laki-laki dengan cinta
sebesar gunung, dan ketika ia meletus, laharnya meluap kemana-mana,
menghanguskan apa saja, melukai fisik dan terutama hati dan jiwa istri dan
anak-anaknya.
Mama sahabat saya adalah perempuan dengan cinta
sebesar kuku. Memang cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh, tak peduli
jika kuku itu dipotong, bahkan jika jari itu rusak dan sang kuku terpaksa
harus dicabut, meski sakitnya tak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan
tumbuh lagi.
Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang
perempuan yang saya yakin tak cuma dimiliki oleh mama sahabat saya itu. Cinta
yang terwujud dalam sebuah tindakan agung : “Memaafkan”.
Sebuah tindakan yang butuh kekuatan besar, butuh
energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya) lemah
bernama perempuan.
~ o ~
Post Comment
READ MORE - Cinta seorang wanita