WELCOME to MY BLOG

Bagi akhi & ukhti yang ingin meng-copy catatan ato artikel di blog ini, mohon cantumkan sumber setiap catatan di tersenyumlah-hati.blogspot.com demi menjaga keaslian tulisan / karya ato share dilaman networking via share tool dibawah setiap catatan...

Mari berbagi...


- Tersenyumlah -

Sabtu, 11 September 2010

Tersenyumlah, dan semuanya akan terasa mudah dan indah...

Tertawa sewajarnya dapat dijadikan sebagai obat penawar kesusahan dan pelera kesedihan yang mempunyai efek yang menakjubkan untuk menyenangkan jiwa dan membahagiakan hati. Karenanya, salah seorang sahabat bernama Abu Darda’ mengatakan, “Sesungguhnya terkadang aku perlu tertawa untuk menghibur hatiku.”

Dan adalah manusia yang paling mulia, Rasulullah SAW, adakalanya tertawa hingga gigi seri beliau kelihatan. Inilah kegunaan tertawa bagi orang-orang yang berakal lagi mengetahui penyakit yang meresahkan jiwa dan cara penyembuhannya.

Tertawa adalah pertanda yang menggambarkan puncak kelegaan, kesenangan, dan kelapangan selama tidak berlebihan, yaitu tertawa yang pertengahan alias sewajarnya sebagaimana disebutkan berikut: “Janganlah engkau terlalu banyak tertawa, karena sesungguhnya terlalu banyak tertawa akan mengeraskan hati.”

Tertawa merupakan kesenangan ahli surga sebagaimana dikisahkan dalam firman-Nya, ”Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,” (QS Al Muthaffifin 83:34)
Pada hakikatnya, Islam adalah agama yang dibangun di atas landasan pertengahan dan keseimbangan, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, maupun tingkah laku. Oleh karena itu, Islam tidak menolerir sikap masam muka dengan penampilan yang kelam lagi menakutkan, dan tidak pula ketawa terbahak-bahak yang berkelanjutan tanpa mengindahkan ketenangan orang lain.

Sebaliknya, Islam membolehkan tertawa yang dibarengi dengan kesungguhan dan kewibawaan sebagai gambaran kelegaan jiwa dan kepuasaan hati pelakunya. Alangkah perlunya kita akan senyuman, keceriaan wajah, kelapangan dada, keindahan budi pekerti, kehalusan jiwa, dan kelembutan hati. Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Meskipun sekedar menampakkan wajah ceria saat bertemu saudaramu.” 

Sebagaimana diungkapkan Zuhair Ibnu Abu Sulma saat memuji Harim bin Sinan, seorang yang dermawan lagi murah hati.

Kau lihat dia manakala kau datangi
Tersenyum cerah menyambut kedatanganmu
Seakan-akan engkau akan berikan kepadanya
Sesuatu yang engkau sendiri menginginkannya


Jiwa yang berkarakter suka senyum bila melihat kesulitan, timbullah seleranya untuk mengatasinya. Ia memandangnya dengan tersenyum, menanggulanginya dengan tersenyum, dan mengatasinya dengan tersenyum pula.

Sesungguhnya kesulitan dalam hidup itu bersifat relatif. Suatu persoalan yang kecil akan terlihat sangat sulit bagi orang yang berjiwa kerdil, sedang menurut orang yang berjiwa besar tidak ada persoalan yang tidak bisa diatasi sebesar apapun persoalan tersebut.

Orang yang berjiwa besar akan semakin bertambah besar setiap kali dapat mengatasi kesulitan, berbeda halnya dengan orang yang berjiwa kerdil, maka jiwanya makin mengecil karena setiap menghadapi persoalan, dia selalu lari darinya.

Sesungguhnya kesulitan itu tak ubahnya seperti anjing liar. Bila ia melihat Anda ketakutan kepadanya, lalu Anda lari darinya, maka ia akan menyalaki Anda dan mengejar di belakang Anda. Akan tetapi, jika ia melihat Anda meremehkannya dan tidak menggubrisnya serta menatapkan mata Anda terhadapnya dengan tatapan yang tajam, niscaya ia akan memberi jalan kepada Anda dan surut ketakutan melihat Anda.

Percaya diri merupakan karunia besar yang perlu dipelihara untuk menopang pilar kesuksesan dalam meraih cita-cita kehidupan. Percaya diri berbeda jauh dengan sikap angkuh yang termasuk sikap tercela. Perbedaannya adalah kalau angkuh terlahir dari percaya diri yang dilatarbelakangi oleh ilusi dan kesombongan yang palsu, sedang percaya diri timbul dengan dilatarbelakangi oleh kepercayaan akan kemampuan diri untuk mengemban tanggung jawab disertai dengan upaya memperkuat bakat dan memperbaiki kesiapannya.

Sehubungan dengan hal ini, seorang penyair bernama Iliyya Abu Madhi mengatakan dalam bait-bait syair berikut:

Dia berkata, “Langit sedih dan terlihat murung.”
Kujawab: ”Tersenyumlah! Biarlah langit murung.”
Dia berkata, ”Masa muda telah berpaling.”
Kujawab: ”Tersenyumlah! Penyesalan tidak akan dapat mengembalikan masa muda yang telah berlalu.”
Dia berkata, ”Langit yang dahulu menaungi cintaku kini telah berubah menjadi neraka bagiku karena membiarkanku terpanggang kerinduan. Ia telah mengkhianati janjinya kepadaku sesudah kuserahkan hatiku kepadanya, maka bagaimana aku dapat tersenyum?”
Kujawab: ”Tersenyumlah dan bersenandunglah. Seandainya engkau tetap merindukannya, niscaya engkau akan menghabiskan usiamu dalam penderitaan.”
Dia berkata, ”Perdagangan dalam perjuangan yang sengit bagaikan musafir yang berjuang hampir mati kehausan. Atau bagaikan seorang gadis yang mengidap TBC memerlukan transfusi darah setiap kali batuk mengeluarkan darah.”
Kujawab: ”Tersenyumlah! Bukan engkau yang mendatangkan penyakitnya dan bukan pula yang dapat menyembuhkannya. Bila Anda tersenyum, mudah-mudahan...
Apakah orang lain yang berbuat jahat sebab engkau tak bisa tidur karena ketakutan seakan-akan engkaulah yang berbuat jahat?”
Dia berkata, ”Musuh  di sekitarku makin keras caci-makinya. Apakah aku dapat hidup senang bila orang-orang di sekitarku memusuhiku?”
Kujawab: ”Tersenyumlah! Jika Anda tidak ingin lebih mulia dan lebih besar daripada mereka, balaslah cacian mereka.”
Dia berkata, ”Musim semi telah menampakkan tanda-tandanya dan menampilkan dirinya kepadaku dengan keindahan pakaian dan perhiasannya. Dan aku mempunyai keharusan untuk memberi hadiah kepada orang-orang yang kukasihi, tetapi di tanganku tidak ada uang.”
Kujawab: ”Tersenyumlah, sudah cukup bagimu bila masih tetap hidup dan masih ada orang-orang yang mencintaimu.”
Dia berkata, ”Malam-malam yang kulalui merekukkan kepahitan kepadaku.”
Kujawab: ”Tersenyumlah, sekalipun engkau mereguk kepahitan. Mudah-mudahan orang lain yang melihat engkau bersenandung akan membuang kesedihannya jauh-jauh dan ikut bersenandung.”
“Apakah engkau mengira dapat memperoleh uang dengan bermuram durja?
Apakah engkau merugi tidak meraih keberuntungan karena tersenyum cerah?
Wahai sahabat tercinta, kedua bibirmu tidak akan sumbing karena tersenyum dan wajahmu tidak akan bopeng karena berseri. 

Maka tersenyumlah, karena bintang-bintang tertawa ceria
sekalipun kegelapan malam bertumpang-tindih
karena itulah kami mengagumi bintang-bintang.”

Dia berkata, “Keceriaan wajah tidak akan membahagiakan manusia yang datang ke dunia ini dan pergi meninggalkannya dengan terpaksa.”
Kujawab: ”Tersenyumlah, selama antara engkau dan kematian masih ada jarak sejengkal, karena sesungguhnbya engkau tidak pernah tersenyum sebelumnya.”

Tersenyumlah, jangan bersedih, karena sesungguhnya bersedih akan membuatmu menganggap air yang enak diminum terasa pahit bak bratawali, bunga sebagai kaktus berduri, taman yang subur sebagai sahara yang tandus, dan kehidupan yang bebas sebagai penjara yang tak tertahankan.

Tersenyumlah, hilangkan kesedihanmu, kau masih punya sepasang mata, sepasang telinga, lisan, hati, kesehatan jasmani, orang-orang yang menyayangimu, Tuhan yang selalu mencintaimu dan yang mengabulkan doamu. ” Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

--dikutip dari Laa Tahzan, Dr. 'Aidh bin 'Abdullah Al Qarni--