Buat apa cinta jika kau tidak percaya padaku,
buat apa sayang jika kau terus berprasangka
yang bukan-bukan.
***
Cindanita, maafkan Ayahmu, semua ini harus
berakhir menyakitkan. Menatap pusaramu, Nak, meskipun kejadian itu sudah lima
belas tahun lalu tertinggal, rasa-rasanya baru kemarin terjadi. Hari ini, kau
seharusnya sudah seperti gadis remaja kebanyakan, pasti cantik dengan rambut
panjang hitam legam, mata hitam bundar, pipi memerah berlesung, dan hidungmu,
persis seperti ibumu, mancung seperti hadiah terbaik Tuhan untuk anak yang
manis dan penurut.
Maafkan Ayahmu, Nak, semua janji masa depan
itu tidak terwujud, hancur berkeping-keping dibawa kepergian Ibumu. Maafkan
Ayahmu, Cindanita. Seusiamu sekarang, enam belas, kau pasti belum paham, bahwa
pondasi terbesar perasaan cinta, selain komitmen adalah kepercayaan. Tanpa
sebuah kepercayaan yang utuh, maka dia hanya ibarat malam tanpa lampu, kau
tersuruk tanpa arah. Ibarat kapal tanpa kompas, kau tersesat semakin dalam di
lautan perasaan. Atau jangan-jangan kau sudah paham, Nak?
Aku menyeka ujung mata, mendongak. Kabut
mengambang di pekuburan kota, membuat pohon kamboja terlihat seperti
bayang-bayang syahdu, berpadu dengan pusara-pusara tinggi. Matahari hampir
tenggelam di kaki langit, menyisakan semburat merah, suasana ini sama benar
dengan waktu kau dikebumikan, Cindanita. Juga sama benar saat Ibumu pergi.
Lihatlah, Ayah pulang, Nak, menjengukmu sesuai
janji setelah setahun lagi berlalu. Aku tersenyum, mengusap lembut pusara
berlumut di hadapanku. Sebenarnya, tidak pernah mudah mengunjungi kembali kota
ini, bukan karena jaraknya amat jauh dengan tempatku menetap sekarang, Nak,
tapi dengan kembali itu sama saja seperti melihat seluruh kenangan itu diputar
di pelupuk mata, tanpa kurang satu adegan manapun.
Walaupun hanya mampir sebentar, hanya sesore, sekelebat berjalan di jalanan kota yang tidak ada lagi warga yang masih mengingat Ayahmu, semua kenangan itu masih terpahat jelas. Aku seperti masih bisa mendengar tangismu, ingin menyusu pada Ibumu. Aku seperti masih bisa melihat tubuhmu yang membiru. Maafkan Ayahmu, Nak, Ayah sudah berjanji tidak akan pernah menangis, tapi untuk kesekian kalinya menangis di depan pusaramu.
Walaupun hanya mampir sebentar, hanya sesore, sekelebat berjalan di jalanan kota yang tidak ada lagi warga yang masih mengingat Ayahmu, semua kenangan itu masih terpahat jelas. Aku seperti masih bisa mendengar tangismu, ingin menyusu pada Ibumu. Aku seperti masih bisa melihat tubuhmu yang membiru. Maafkan Ayahmu, Nak, Ayah sudah berjanji tidak akan pernah menangis, tapi untuk kesekian kalinya menangis di depan pusaramu.
Aku bukan menangis sedih, Cindanita. Enam
belas tahun berlalu, aku sudah bisa menangis lega. Ayah baik-baik saja, terima
kasih sudah bertanya.
Baik, kita bicarakan hal lain saja. tidak akan
kita habiskan waktu seberharga ini hanya untuk mengenang semua yang sudah
tertinggal di belakang, bukan? Kau mau mendengar sebuah cerita, Nak? Seperti
tahun lalu, Ayah membawa sebuah cerita baru. Kapal Ayah singgah di daratan
India, dan beberapa penduduk setempat berbaik hati menceritakan sebuah cerita
hebat. Maukah kau mendengarnya?
Aku tersenyum lembut, mengelus perlahan legam
panjang milik Cindanita, gadis kesayanganku.
***
Siapa yang tidak mengenal Rama?
Pangeran gagah dari kerajaan Kosala? Dia
tampan tak terkira, dia pintar tiada dua, dan jangan tanya soal kepribadiannya,
Rama adalah pemuda tiada tandingan. Semua orang akan terpesona hanya dengan
menatap wajahnya.
Lantas siapa yang tidak mengenal Shinta? Gadis
rupawan, puteri kerajaan Wideha? Dia cantik tak terperi, dia pintar tiada
tanding, dan jangan tanya soal budi pekertinya, Shinta adalah gadis yang tumbuh
dalam asuhan luhur. Semua orang bahkan terpesona hanya dengan mendengar
bisik-bisik bagaimana jelita rupanya.
Mereka berdua seperti ditakdirkan menjadi
pasangan abadi, Rama-Shinta, dan sudah abadilah cerita mereka.
Kau tahu, Nak, bagaimana mereka berdua
berjodoh satu sama lain? Tidak, tentu saja tidak seperti pasangan kebanyakan.
Ah, kalau sama dengan orang banyak, apa istimewanya? Pemuda gagah itu, Rama,
sedang dalam misi berbahaya, menumpas para raksasa di hutan rimba saat terbetik
kabar, Raja Wideha mengadakan sayembara. Gadisnya yang rupawan sudah cukup
usia, bagai bunga mekar, sudah saatnya menikah dengan salah-satu pangeran
terbaik di seluruh India. Maka demi kabar besar itu, berduyun-duyunlah semua
kerajaan mengirimkan pangeran mereka.
“Kau harus ikut serta, Kakanda.” Laksmana,
adik Rama yang setia menemani mereka berpetualang menumpas raksasa membujuk.
“Astaga, kau ingin kakakmu ini mendapatkan
jodoh melalui sebuah sayembara? Itu jelas bukan awal kisah cinta sejati, tidak
akan ada Resi yang pernah menulisnya.” Rama menggeleng.
“Setidaknya Kakanda bersedia melihat dulu
puteri itu, menurut kabar, wangi kulitnya semerbak hingga ratusan meter.
Matanya mampu meruntuhkan dinding kesombongan. Dan hatinya, bahkan bisa
menaklukkan senjata paling hebat di dunia.” Laksmana mengedipkan mata, tidak
habis akal membujuk, “Setelah dilihat, nanti baru Kakanda putuskan sendiri
apakah akan menulis kisah cinta sejati dari sebuah sayembara atau bukan?”
Rama menatap adiknya, tidak percaya, bagaimana
mungkin di tengah mengejar-ngejar raksasa pengganggu penduduk, mereka
membicarakan soal sayembara bodoh itu.
“Ayolah, apa salahnya dicoba, bukan?” Laksmana
tertawa.
Baiklah, seperti apa omong kosong kecantikan
gadis itu, Rama mendengus, memasang busur dan anak panah di punggung, lupakan
sebentar misi petualangan mereka, berputar haluan, berangkat menuju ibukota
Wideha.
Cindanita anakku, jika kau hendak bertanya
apakah cinta pada pandangan pertama itu, maka kau bisa bertanya pada pasangan
Rama dan Shinta.
Ketika seluruh pangeran sudah berkumpul di
balai agung ibukota Wideha, Rama yang tiba terlambat justeru salah memasuki ruangan.
Sebuah kesalahan yang memantik nyala perasaan berpijar-pijar. Bagaimana
mungkin? Dia sungguh tidak terpesona oleh betapa cantiknya Shinta, kabar itu
bukan dusta, tapi dia terpesona saat melihat gadis itu sedang membantu
dayang-dayang yang tidak sengaja menumpahkan nampan berisi buah-buahan.
“Tidak usah dipikirkan. Tidak usah
dicemaskan.” Merdu suara gadis itu menenangkan dayang-dayang, membungkuk
membantu mengambil buah yang berserakan, sama sekali tidak keberatan membuat
kainnya berdebu.
“Maafkan kami, Puteri.” Dayang-dayang semakin
serba salah, bagaimana mungkin Shinta yang hari ini akan mengadakan sayembara
mencari suami, justeru berhenti sejenak membantu mereka.
Rama yang tertegun menatap gadis yang riang
membantu dayang-dayangnya, mencengkeram lengan Laksmana di sampingnya tanpa
sengaja.
“Siapakah gadis itu?” Rama berbisik.
Shinta lebih dulu menoleh. Dayang-dayang
berseru pelan, kaget ada laki-laki memasuki bangunan khusus perempuan.
“Maaf, sungguh maafkan kami.” Rama mengangkat
tangannya, bergegas menyadari kekeliruan, “Kami sedikitpun tidak bermaksud
buruk, kami tidak sengaja, kami salah masuk ruangan.”
Shinta menatap sejenak wajah pemuda di
hadapannya, memeriksa wajah serba salah, serba tanggung, dan ketahuan baru saja
begitu terpesona melihat dirinya, ah, pemuda ini pastilah pengembara, Shinta
tersenyum manis, pemuda gagah ini pastilah salah-satu petualang yang telah
mengelilingi dunia. Seperti banyak pengunjung lainnya, ikut hadir meramaikan
ibukota menonton sayembara besar.
Ah, andaikata dia bukan puteri seorang Raja,
yang harus memperoleh jodoh melalui sebuah sayembara, akan menyenangkan bisa
berpetualang melihat dunia luas.
Itulah pertemuan pertama mereka. Percakapan
pendek yang kaku, patah-patah, malu-malu tapi mengesankan. Shinta tidak menduga
kalau pemuda dengan pakaian ksatria biasa tapi dengan tutur kata menawan bagai
seorang pangeran memang seorang pangeran terhormat. Sungguh sebuah kejutan
menarik saat dia tahu pemuda itu mengikuti sayembara.
Kau tahu Cindanita, sayembara itu mudah
sekaligus rumit. Mudah, karena semua peserta tidak diminta berlomba memanah,
mengejar atau membunuh rakasasa, mereka juga tidak diminta saling mengalahkan,
tidak ada pertandingan fisik. Mereka hanya diminta menarik busur, pusaka
kerajaan Wideha. Nah itulah rumitnya. Busur itu sungguh bukan busur biasa, itu
busur milik Dewa Siwa yang dihadiahkan ke bumi, jangankan menarik talinya,
bahkan mengangkat busur itu saja tidak banyak yang mampu.
Kau benar, Nak, aku tertawa, mengelus rambut
hitam Cindanitaku yang tidak sabaran menunggu kelanjutan cerita, tentu saja
Rama yang memenangkan sayembara itu.
Tapi jangan lupakan pertanyaan pentingnya,
jika seluruh pangeran tidak mampu menarik tali busur itu, kenapa Rama yang
mampu? Ayah tidak tahu kekuatan apa yang sesungguhnya membuat pemuda itu mampu
menarik tali busur itu, Rama adalah ksatria hebat, dia dikenal mampu
menaklukkan banyak raksasa di jaman itu, tapi itu tetaplah busur hadiah Dewa
Siwa, senjata paling menggetarkan di seluruh daratan India.
Satu anak panahnya terhujam ke bumi, maka konon dunia akan merekah bagai sebutir jeruk yang terbelah. Entah kekuatan apa, boleh jadi karena kekuatan cinta. Lihatlah, di sebelah kursi singgasana, Shinta tersipu malu, ikut bersorak senang saat melihat Rama berhasil menarik tali busur. Mereka berjodoh, sayembara telah berakhir, pernikahan antara Rama dan Shinta segera dilangsungkan.
Satu anak panahnya terhujam ke bumi, maka konon dunia akan merekah bagai sebutir jeruk yang terbelah. Entah kekuatan apa, boleh jadi karena kekuatan cinta. Lihatlah, di sebelah kursi singgasana, Shinta tersipu malu, ikut bersorak senang saat melihat Rama berhasil menarik tali busur. Mereka berjodoh, sayembara telah berakhir, pernikahan antara Rama dan Shinta segera dilangsungkan.
Lepas pernikahan, pasangan muda itu kembali ke
Ayodya, ibukota kerajaan Kosala, bukan main, senang alang kepalang Raja Kosala
melihat anaknya telah memperistri seorang bidadari. Raja Kosala yang uzur,
bahkan hendak mengangkat Rama menjadi raja, apalagi yang kurang? Masa depan
kerajaan akan gemilang di tangan putra sulungnya tersebut.
Tetapi ada yang tidak senang dengan rencana
tersebut. Ibu tiri Rama, istri muda Raja Kosala, merasa anaknya, Barata, lebih
berhak menjadi raja. Nasib malang menimpa pasangan muda tersebut, melalui
sebuah intrik yang licik, Rama dan Shinta justeru terusir dari Ayodya, ibukota
Kosala, dibuang ke hutan rimba selama empat belas tahun. Barata, adik tirinya
menjadi raja, dan Raja Kosala yang menyesali situasi meninggal dalam kesedihan
panjang.
Apa yang dilakukan Shinta atas semua
penderitaan itu, Cindanita? Dia tidak pergi, dia justeru menabahkan hati,
meneguhkan cinta, berangkat menemani Rama terbuang dari segala kehormatannya.
Bagi Shinta, semua urusan sederhana, kemanapun Rama pergi, dia akan terus
mengabdi, itulah bukti cintanya yang tiada tara. Maka terusirlah Rama dan
Shinta, dengan ditemani Laksmana yang sejak kecil selalu menemani kakaknya.
Empat belas tahun bukan waktu yang sebentar,
tinggal di dalam hutan juga bukan masalah yang mudah bagi pasangan itu. Mereka
diuji oleh berbagai godaan, diuji oleh berbagai rintangan. Tidak terhitung
begitu banyak raksasa hutan yang selama ini diburu Rama hendak membalaskan
sakit hati. Dan puncaknya saat Rahwana, Raja Alengka, berniat menculik Shinta
yang jelita.
Kau tahu siapa Rahwana, Nak? Dia adalah raja
para raksasa. Kesaktiannya tiada tara. Tidak ada penduduk bumi yang bisa
mengalahkan Rahwana. Bahkan rasa raksasa itu pernah meneror kerajaan langit,
membuat para Dewa harus bersatu memaksanya mundur kembali ke bumi. Tidak ada
yang bisa menghentikan kesewang-wenangan Rahwana.
Hari naas itu, Shinta melihat seekor anak
kijang, begitu lucu, lincah loncat kesana kemari. Aduh, menggemaskan sekali.
Shinta meminta Rama mengejar anak kijang itu. Rama yang enggan, akhirnya
mengalah, memutuskan mengejar kijang itu, meninggalkan Shinta pada Laksmana,
adiknya. Tentu saja kijang itu bukan kijang biasa, melainkan raksasa, anak buah
Rahwana yang sedang menyamar. Setelah dikejar kesana-kemari, masuk ke dalam
hutan yang lebih lebat, Rama berhasil memanahnya, dan kijang itu berubah wujud,
berseru meminta tolong, menirukan suara Rama.
Demi mendengar teriakan itu, Shinta panik. Dia cemas suaminya terluka, meminta Laksmana menyusul. Situasi berubah menjadi rumit. Laksmana yang ragu-ragu, khawatir itu semua jebakan dari musuh mereka, memutuskan membuat lingkaran di tanah yang melindungi Shinta sepanjang berada di dalamnya, dia bergegas menyusul Rama, meninggalkan Shinta yang berlindung dalam lingkaran.
Tetapi Rahwana tidak kalah akal, dia menyamar menjadi seorang pertapa tua, berjalan terbungkuk, pura-pura kehausan. Rahwana tidak bisa masuk ke dalam lingkaran, tapi dia bisa membujuk Shinta yang amat perasa terhadap kesedihan dan penderitaan orang lain melangkah keluar mengulurkan kendi air minum.
Sekejap. Saat tangan Shinta keluar dari
lingkaran, Rahwana berubah wujud, menyambar tangan Shinta, membawanya terbang
pergi ke kerajaan Alengka yang berada di seberang lautan daratan India. Rahwana
tertawa jumawa, wajah buruk rupanya terbahak puas, rencana besarnya berhasil,
lihatlah, dia berhasil menculik Shinta.
Rama dan Laksmana yang kembali dari mengejar
kijang amat pilu saat tahu istrinya telah diculik Rahwana. Perhiasan istrinya
terjatuh di lingkaran perlindungan, dan seekor burung garuda, Jatayu, yang
kebetulan melihat penculikan tersebut, dan berusaha menggagalkan, memberitahu
mereka, tubuh Jatayu terluka parah, Rahwana jelas-jelas bukan tandingannya.
Maka dimulailah cerita mahsyur itu, Cindanita.
Petualangan Rama menyelamatkan kekasih
hatinya, istri tercinta. Rama tahu persis, tidak mudah merebut kembali Shinta
dari Rahwana, kerajaan raksasa itu ribuan kilometer di seberang lautan, dan di
sarang raksasa, sama saja bunuh diri dengan menyerbu seadanya. Rama memutuskan
meminta bantuan bangsa Wanara, alias manusia kera. Melalui sebuah perjanjian
saling membantu, ribuan pasukan manusia kera dipimpin oleh panglimanya yang
mahsyur itu, Hanoman, berangkat ke medan perang. Juga ribuan ksatria dari
kerajaan-kerajaan lain yang terketuk hatinya melawan Rahwana.
Tapi masalah pertama langsung menghadang
rombongan itu, bagaimana menyeberangi lautan? Tidak semua anggota pasukan
manusia kera bisa terbang? Bagaimana mereka bisa melewati lautan ribuan
kilometer, sementara entah apa nasib Shinta di kerajaan Alengka sekarang.
Berhari-hari Rama meminta bantuan Baruna, dewa yang mengurus samudera. Baruna
menolaknya, menolak terlibat dalam pertempuran.
Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka. Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, “Jika kau tidak mau membantuku, wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.”
Rama habis kesabaran, di penghujung hari ketiga, Rama mengangkat busur Dewa Siwa, berdiri penuh rasa marah, menghadap lautan yang menghambat mereka. Anak panah ditarik, dan Rama berseru lantang, “Jika kau tidak mau membantuku, wahai Baruna, akan aku keringkan seluruh lautan ini dengan anak panahku.”
Menggetarkan sekali melihat ancaman Rama. Itu
bukan senjata biasa, itu pusaka paling sakti milik dunia. Baruna gemetar
berpikir, pilihannya terbatas, binasa seluruh lautan, atau membantu penyerbuan
Rama. Maka Baruna menawarkan membangun sebuah jembatan, lebih lambat, tapi itu
lebih masuk akal. Rama, Laksmana dan Hanoman menyetujuinya, Segera, semua
pekerja dikerahkan, siang malam, termasuk penduduk lautan, dan dalam waktu
singkat, jembatan dahsyat itu terwujud, membentang panjang atas nama cinta.
Dengan jembatan yang kokoh, pasukan manusia
kera bagai gelombang air bah menyerbu kerajaan Alengka, dan pertempuran besar
tidak dapat dihindarkan lagi. Ribuan prajurit raksasa bertahan, membela setiap
jengkal istana. Duel dahsyat antara Rama dan Rahwana menjadi legenda.
Dua-duanya sama digdaya, bertempur di langit-langit kerajaan Alengka. Dentum
merah, kuning, biru, membuat terang langit malam. Kelebatan cahaya jingga,
kuning, hijau memedihkan mata. Panah sakti milik Rama akhirnya menghujam dada
Rahwana, dan raja raksasa paling sakti itu tumbang ke bumi. Rahwana, raja
raksasa yang pernah membuat rusuh kerajaan langit, akhirnya dikalahkan.
Shinta berhasil direbut kembali.
***
Perkuburan kota semakin remang. Satu dua
kunang-kunang mulai terbang bersiap menghiasi malam. Matahari sebentar lagi
beristirahat di kaki langit. Aku menghela nafas panjang, masih menyentuh pusara
berlumut Cindanita.
Seru sekali ceritanya, bukan, Nak?
Aku tersenyum, mengangguk melihat anggukan
Cindanita.
Kau tahu, Nak, Ayah dan Ibumu juga bertemu
melalui sebuah kejadian yang spesial. Waktu itu, kapal Ayahmu membuang sauh di
pelabuhan kota kelahiran Ibumu. Para kelasi yang berminggu-minggu di lautan
berseru riang, segera turun, melemaskan badan, mengunjungi keramaian kota.
Aku dan beberapa kelasi lain, pergi menuju
sebuah rumah makan. Kami tidak tahu kalau di rumah makan itu sedang
dilangsungkan pernikahan, jadi terlihat aneh sekali saat kami yang berseragam
kelasi memasuki rumah makan. Kepalang tanggung, kami mengaku kerabat jauh yang
diundang, membaur dengan undangan pesta lainnya. Pesta pernikahan itu meriah,
semua terlihat bahagia menikmati acara, kecuali satu orang, mempelai wanitanya.
Itu pernikahan yang dipaksakan, gadis itu terpaksa menikah dengan laki-laki
berusia empat puluh tahun lebih tua, kakek-kakek tua.
Kau bisa menebaknya, Nak, celaka urusan,
mempelai wanita justeru meminta kami menolongnya kabur di tengah keramaian.
Kami pilihan yang tepat, kami warga asing, dan kami kelasi kapal, bisa segera
pergi meninggalkan kota yang dibencinya. Semua orang waras pasti menolak
mentah-mentah permintaan itu, bahkan jika mempelai perempuan mengancam bunuh
diri jika tidak ditolong, itu tetap tidak masuk akal. Tapi, Nak, bukankah orang
yang jatuh cinta pada pandangan pertama termasuk definisi orang gila? Ayah
menyetujuinya, membuat kelasi lain berseru tidak percaya.
Ayah membawa kabur mempelai perempuan ke atas
kapal, maka pecahlah keributan di rumah makan, hanya hitungan jam kabar buruk
segera menjalar ke seluruh kota, siapa yang telah menculik mempelai perempuan?
Merusak pesta pernikahan?
Meskipun apa yang Ayah lakukan adalah hal
gila, awak kapal adalah saudara sehidup semati, tidak terbilang berapa kali
bersama-sama menerjang badai membawa muatan, tidak terbilang berapa kali
dihadang perompak, bersama-sama melawan. Mereka membantu Ayah, kapal segera
melepas sauh, pergi jauh dari kota itu.
Kau tertawa Cindanita? Kenapa?
Ahiya, kau benar, kisah Ayah mirip dengan aksi
heroik Rama menyelamatkan Shinta. Kakek-kakek tua itu seperti Rahwana. Aku ikut
tertawa, mengusap rambut hitam legam Cindanita.
Lantas aku membawa mempelai wanita itu ke kota
ini, kota kelahiranmu. Menurunkannya di pelabuhan. Dia masih sempat membawa
uang, bekal berpergian. Dia dengan cepat beradaptasi, bekerja menjadi penjaga
toko cokelat. Dan kami, jika sebuah kejadian sepele saja bisa membuat orang
jatuh cinta, apalagai kejadian itu, kami jatuh cinta. Aku melanjutkan
perjalanan menjadi kelasi kapal, mengelilingi dunia mengirim barang-barang
muatan.
Tiga bulan sekali singgah di kota ini,
menjenguk mempelai perempuan itu. Di kali keempat aku singgah, kami
melangsungkan pernikahan. Itu sungguh pesta pernikahan yang hebat, semua
undangan berbahagia, dan yang pasti, kedua mempelai bahagia, tidak akan ada
yang berusaha pergi. Mempelai perempuan itu adalah Ibumu, Nak.
Kami membeli rumah kecil di dekat toko cokelat
itu. Ibumu riang terus bekerja, dan aku kembali menjadi pelaut, yang beberapa
bulan baru kembali singgah. Dua tahun berlalu, semua berjalan lancar, seperti
tidak akan ada masalah, kami bahagia dengan cara tersebut. Bertemu dua minggu,
untuk berpisah tiga bulan. Berpisah tiga bulan, untuk bertemu dua minggu. Ayah
mempercayai Ibumu, dan Ibumu mempercayai Ayah. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Mata bulat hitam Cindanita berkerjap-kerjap
menatapku. Aku tersenyum, menyentuh pipinya yang berlesung.
Sayangnya, Nak, cerita baru saja dimulai. Sama
halnya dengan kisah hebat dari India itu, kisah abadi Rama dan Shinta. Bukan,
sungguh bukan petualangan Rama merebut Shinta dari Rahwana yang menjadi cerita
utamanya, seperti yang disangkakan orang-orang, seperti yang lebih suka
didengar orang banyak. Cerita pentingnya justeru baru dimulai persis saat
pasangan abadi itu kembali ke Ayodya. Sama seperti Ayah dan Ibumu, cerita
pentingnya baru dimulai ketika Ibumu mengandung.
Tentang kepercayaan. Tentang salah-satu
pondasi dasar sebuah cinta. Kau mau mendengar kelanjutan cerita Rama dan
Shinta, Nak? Tidak sabar? Aku tersenyum, masih lembut mengelus pipi
Cindanitaku.
***
“Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja,
Laksmana.” Rama menghembuskan nafas panjang, berdiri menatap langit, tangannya
bersidekap resah, sejak tadi siang dia terus berpikir.
“Bagaimana mungkin kau tidak mempercayainya, Kakanda?”
Laksmana berseru putus asa, “Empat belas tahun Shinta setia menemani di hutan
rimba. Empat belas tahun hidup penuh penderitaan demi mengabdi pada suaminya.
Ditambah berbulan-bulan di tahan oleh Rahwana, berbulan-bulan menanggung
penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana mungkin kau tidak mempercayai Shinta?”
“Berbulan-bulan.” Rama mendesah, “Karena
berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa yang telah terjadi di
Alengka? Siapa yang bisa memastikannya?”
“Tidak.” Laksmana menggeleng kencang-kencang,
seperti berusaha mengusir kalimat Rama barusan jauh-jauh, “Aku tidak percaya
kalimat itu keluar dari mulutmu, Kakanda.”
Ruangan singgasana hening sejenak.
Inilah masalah baru pasangan Rama dan Shinta.
Jutaan rakyat Kosala bersorak senang saat Rama
membawa pulang Shinta ke ibukota Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri
hukuman empat belas tahun terbuang. Tahta raja Kosala dikembalikan oleh
adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana, raja raksasa penyebab semua masalah
daratan India membuat rakyat berpesta, dan lebih besar lagi pesta itu karena
yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru mereka, Rama.
Tapi kesenangan itu hanya sebentar, entah
siapa yang memulai, bisik-bisik kotor merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar
burung menyebar begitu cepat. Di sudut-sudut istana, di pasar-pasar kumuh, di
kampung-kampung. Apalagi kalau bukan kabar burung: Shinta sudah tidak suci
lagi. Berbulan-bulan ditawan Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap
mampu menjaga diri? Rahwana adalah raksasa licik yang sakti, dia bisa menipu
siapa saja, bukan?
Bisik-bisik kotor itu bagai jelaga hitam
ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam sejauh mata memandang, dan
hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di telinga Rama. Rakyatnya
meragukan kesucian Shinta.
“Omong kosong, Kakanda.” Laksmana berseru,
“Omong kosong semua ini. Aku bersumpah, Shinta tidak akan pernah berkhianat.
Kakanda seharusnya tidak mendengarkan bisik-bisik di luar sana. Di mana mereka
saat Kakanda dan Shinta terusir empat belas tahun di hutan rimba? Di mana
mereka saat Kakanda memimpin ribuan pasukan Wanara? Tidak ada satu pun rakyat
Kosala yang peduli? Kenapa sekarang mereka peduli sekali dengan sesuatu yang
bukan urusa mereka?”
Ruangan singgasana semakin tegang. Hanya
mereka berdua yang ada di sana. Rama mengajak adiknya membicarakan masalah
pelik tersebut.
“Tetapi mereka rakyatku, Laksmana. Aku tidak
bisa menjadi Raja mereka yang baik jika mereka tidak mempercayai Ratunya.” Rama
menatap kosong ke depan, resah.
“Karena Kakanda Raja dan mereka rakyat, maka
Kakanda bisa memerintahkan untuk menghentikan seluruh omong kosong.” Laksmana
menjawab gemas, dia mulai kehabisan cara membujuk Rama.
Rama menggeleng, urusan ini tidak sesederhana
yang dipikirkan oleh Laksmana.
Apakah Shinta tetap suci? Berbulan-bulan dia
ditahan di taman Asoka yang indah, di dalam istana kerajaan Alengka, dijaga
belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta bisa menjaga kehormatan dirinya?
Keputusan besar itu diambil Rama, dia
memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk Shinta. Melewati api yang
berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka tidak akan ada keraguan
lagi.
“Apakah Kakanda masih mencintai Shinta?”
Laksmana bertanya lirih, keputusan telah diambil, tidak banyak yang bisa
dilakukannya.
“Aku mencintainya, Laksmana. Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu?”
Laksmana tertunduk, “Maka Kakanda telah
melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah pondasi penting sebuah cinta,
Kakanda telah kehilangan pondasi itu. Besok lusa, hal ini akan terulang
kembali. Besok lusa, tanpa pondasi tersebut, Kakanda hanya akan menjadi
olok-olok seluruh penduduk Ayodya.”
Rama terdiam, menelan ludah, menatap adiknya
tidak mengerti. Ruangan singgsana lengang.
“Bukan, sungguh bukan karena ingin
mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini dilakukan.” Laksmana masih
tertunduk, “Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup resah di hati Kakanda.
Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu, tapi Kakanda, tidak akan
pernah berhasil memadamkan keresahan itu.”
Laksmana membungkuk, ijin pamit, melangkah
pelan menuju pintu ruangan, punggungnya hilang di antara helaan nafas Rama.
***
-- Bersambung --
Ditulis ulang dengan seijin penulis
Dari : Buku Berjuta Rasanya 2
Oleh : Tere Liye
Post Comment