Ujian kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan
penduduk Ayodya. Apakah Shinta menolak ujian tersebut? Merasa ujian itu
melecehkan harga dirinya? Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun.
Dia tidak merasa suaminya meragukan dirinya, ujian ini hanya untuk membuktikan
kepada rakyat banyak. Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama
melakukan hal yang lebih sulit dibanding itu dia bersedia.
Pagi itu, di tengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar,
menjilat-jilat terasa begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk
yang sejak malam buta berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap
kobaran api, menunggu prosesi ujian dimulai.
Shinta melangkah keluar dari Istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikit pun, rambutnya terurai panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa semerbak wangi yang belum pernah dicium banyak orang.
Resi-resi istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan.
Puja-puji untuk seorang puteri yang akan membuktikan diri.
“Dusta takkan bercampur dengan jujur
Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina
Habis lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap
menuju kobaran api yang menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa
pingsan tidak tahan menonton saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi
berseru lirih. Rama memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju
kobaran api suci.
Laksmana benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun
keluar dari kobaran api, lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku
pakaian yang dikenakan Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira.
Shinta berhasil melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana,
Rama menghela nafas lega, ikut berseru riang.
Tetapi cerita jauh dari selesai.
***
Kalimat lain Laksmana juga benar, adik Rama yang tidak tahan
dengan situasi istana, dan akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu
bijak menilai sesuatu, Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak
pernah memadamkan resah di hati orang-orang yang tidak mau percaya.
Hanya berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik
kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim
kemarau. Dan bagai api yang membakar rerumputan kering, cepat sekali menjalar,
menghanguskan apa saja. Orang-orang berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong,
mereka ditipu mentah-mentah. Shinta menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya
dari kerajaan Alengka untuk melewati api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana,
begitu bertimbun kesaktiannya, apa susahnya sebelum dia berhasil dikalahkan
Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada Shinta untuk mengatasi hal ini.
Hanya berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta kembali hidup
rukun, saat gelombang kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya. Cepat dan
merusak sekali akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.
“Kau tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia
kera, bangsa Rawana, kali ini yang bijak menasehati.
“Tapi bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota
hingga desa, di setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu.
Bagaimana aku meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak
percaya dengan Ratunya? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu
kita semua? Siapa?”
Hanoman menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak
percaya, “Astaga, Paduka Rama, sungguh tidak ada yang terjadi di taman Asoka.
Bukankah kau sendiri yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka
selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu
adalah perempuan terhormat, dia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun.
Akulah saksinya.”
Rama menggeleng.
“Paduka Rama tidak percaya padaku?”
“Aku tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini,
Pamanda.” Rama menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.
Ruangan singgasana lengang. Senja merah membungkus langit
Ayodya, urusan itu ternyata masih berbuntut panjang.
Keputusan kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari
sekadar melewati api suci. Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang
telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas dia harus diuji
dengan apa? Mudah, usir saja dia dari Ayodya.
“Kau telah kehilangan akal sehat, Paduka Rama.” Hanoman berseru,
kepalanya menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas, sungguh dia ingin
mengusir kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak
akan melakukannya, bukan? Itu, itu berlebihan.”
Justeru sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala
Rama, entah alasan apa yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama
sudah bulat. Duhai, kemanakah cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta
menemani Rama terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan
Shinta tidak sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka,
berharap suami tercintanya tiba, merebutnya kembali.
Shinta diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh
Rama, di hadapan rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya
sungguh bijaksana, bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan
terbuang dari istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.
Hanoman tertunduk dalam, terpekur menatap lantai.
“Apakah kau masih mencintai Shinta, Paduka Rama?” Bertanya
pelan.
“Tentu saja, Pamanda. Tentu saja.” Rama menjawab dengan intonasi
tersinggung, “Aku mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta
akan mampu melewati masa pembuangannya.”
Hanoman menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka,
tapi Padukalah yang membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam
hati. Camkan ini, Paduka, esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa
terbuangnya, tapi Paduka tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”
Hanoman melangkah perlahan, meninggalkan gegap gempita halaman
Istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan
rajanya.
Bagaimana Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan
sendiri oleh suaminya? Shinta mengangguk, kali ini dia memang tidak kuasa
menahan kesedihan hati, matanya berkaca-kaca, tapi dia mengangguk patuh. Shinta
tidak sedih karena keputusan itu, dia sedikitpun tidak pernah meragukan cinta
Rama. Shinta sedih karena dia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat Ayodya,
Shinta sedih harus berpisah dengan suami tercinta.
“Jangan cemaskan aku, Kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan
baik-baik saja. Masa pembuangan ini tidak akan lama, apalah arti sepuluh tahun
demi membuktikan cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, Kakanda. Sedikit
pun jangan terbetik perasaan itu.”
Senja itu, saat gelap mulai menghampiri ibukota Ayodya, prosesi
pengusiran Shinta dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya, tidak ada yang
boleh membantunya. Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana,
berduyun-duyun puas ingin menonton.
Resi-resi istana membacakan kidung kesedihan. Shinta melangkah
menuruni anak tangga, mengenakan pakaian putih, selendang putih, semerbak wangi
menyergap hidung-hidung. Tidak, oh Ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak
akan menangis, wahai Dewi Laksmi. Shinta meremas jemarinya, menatap sekitar
yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dari
suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku
kepada suamiku.
“Dusta takkan bercampur dengan jujur
Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina”
Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang di langit-langit
halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu, disaksikan ribuan
rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi singgasana,
sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang ibukota
Ayodya, menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian
sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorang pun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa
Shinta sedang mengandung anak mereka.
***
Bersambung
Dari : Buku Berjuta Rasanya 2
Oleh : Tere Liye
Post Comment
Post Comment